Buah Karya : Muhammad Irfan 14 Agustus 1945 “Tang!” bunyi hantaman palu godam itu kembali membangunkan tidur siangku. Sebenarnya tak ada waktu tidur bagi kami, tapi aku sering mencuri waktu walau semenit ketika para tentara Jepang itu lengah, walau semenit. Ya, kini telah siang. Tenagaku benar-benar habis, badanku terasa bergetar menahan tulang dan kulit yang masih tersisa di tubuh kecil ini. Aku butuh nasi busuk yang diberikan tentara Nippon itu tadi pagi. Kami hanya mendapat setengah batok nasi dalam sehari. Tangan ku mulai meraba-raba tanah, karena cahaya yang masuk tak mampu menerangi seantero lorong Goa Jepang ini. “Ros, tidakkah kau melihat nasiku disini?” tanya ku pada Alveros, salah satu buruh baru yang ku kenal dari ribuan buruh yang telah mati. Dia salah satu buruh kiriman dari Papua. “Nasi apa? Yang ku lihat dari tadi hanyalah dinding dan palu berat ini.” “Jangan bercanda! Hanya itu sisa makanan yang kupunya. Yang telah ku sediakan
SuKa nuLis aPa z yg Aku suKa...