Penulis : Cucu Sudiana
Tanggal
Penulisan : 30 Maret 2012
Kali
ini aku datang kembali ke sebuah Sekolah Menengah Atas yang memiliki predikat
sekolah terbaik dan terfavorit di Kota Tasikmalaya. Terkaanku salah, kukira
semakin tinggi kualitas sebuah sekolah semakin baik pula pendidikan yang
diterima para anak remaja yang berada dalam keadaan labil. Mereka pandang aku
setengah mata, guru PPL yang menjadi jabatanku hari ini merupakan sebuah
kebanggaan untukku, namun juga sebuah ancaman dan tantangan bagi diriku
sendiri. Entah apa yang salah? Mungkin itu penampilanku? Cara mengajarku? Atau
kemungkinan mereka memang sengaja tidak menyukai aku? Entahlah…
Buku
paket Geografi kelas 3 aku genggam dengan cengkraman jari-jariku, hari ini aku
siap menyampaikan materi mengenai Industri. Sudah beberapa hari aku membaca
materi tersebut dan mencari sumber-sumber lain dari perkuliahan yang bisa
dijadikan referensi dan tambahan pengetahuanku. Aku mulai masuk ruangan kelas
XII IPS 2, kuberi salam kepada mereka, namun tak seorangpun yang bergeming dan
menjawab salamku, aku menghembus nafas kesalku dengan pelan, kuamati baik-baik
tingkah laku mereka. Beberapa siswa laki-laki sedang bersantai sambil
mendendangkan lagu-lagu anak muda yang sedang hits pada saat itu sambil
memainkan gitarnya dengan asyik. Sedangkan beberapa siswa perempuan banyak yang
asyik membaca majalah remaja dan bergembira dengan kesenangan baru di dunia
teknologi yaitu Blackberry. Kusimpan
buku peganganku di atas meja dan mengisi agenda harian yang wajib diisi oleh
setiap guru yang mengajar pada hari itu.
Aku
mencoba mencari perhatian mereka dengan berdiri di depan kelas sambil berdehem
agak keras, hal ini sudah kulakukan selama satu bulan penuh, dengan kesabaran
dan kegigihankulah yang membuat aku bertahan sampai saat ini, dan dengan
senyumlah aku dapat bersembunyi.
“Baiklah,
Bapak akan mulai pelajaran hari ini. Silahkan kalian simak baik-baik apa yang
Bapak sampaikan dan silahkan tulis hal-hal yang kalian anggap penting!”
Nafasku
serasa sesak, dari 36 siswa mungkin yang benar-benar memperhatikanku hanyalah
segelintir orang. Kuhadapi semua itu dan ku mulai saja menjelaskan secara
panjang lebar apa yang dapat aku sampaikan, penggunaan multimedia pun sempat
aku tampilkan untuk melengkapi dan memperjelas ketajaman materi.
Hari
ini pun berakhir, aku pulang dengan berkeluh kesah, semangatku untuk hari ini
habislah sudah. Kendaraan roda dua yang merupakan peninggalan dari sosok ayah
yang telah membesarkanku kumasukan ke dalam rumah tua, kututup pintu yang
berdecit karena engselnya yang sudah berkarat. Ada suara cekikikan dari balik
kamar, aku sempat merasa tak kuasa membendung kesedihanku lagi, aku terisak
meskipun tak ada air mata yang jatuh, mataku panas, dan hidungku perih. Kucari
sebuah kunci gembok di dalam kotak yang biasa aku jadikan tempat penyimpanan
kunci.
“Ckckckck….hahahahahaha…..anakku
sudah pulang?? Ganteng sekali, mirip pejabat!!hahahahaha”
Perempuan
paruh baya dengan pakaian kusut itu bergantian antara cekikikan dan tawa
lepasnya. Baru saja tadi pagi aku memandikan dan mengganti pakaiannya, namun
sekarang sudah kusut kembali dan noda-noda makanan menempel di sekujur
tubuhnya. Perempuan itu kini menangis sambil menunjuk-nunjuk diriku, ia
menggeliat dan menjambak rambutnya sendiri sampai berantakan, aku tak bisa
berbuat apa-apa, maka izinkanlah aku untuk menangis lagi di sore itu.
Sudah
genap enam bulan ayahku tak kunjung pulang dari rantauannya di Jakarta. Tabunganku
semakin menipis, dan aku sudah mulai merasa tidak enak dengan sanak saudaraku
yang terlalu baik. Aku tak ingin membuat susah mereka lagi, umurku sudah 21
tahun, sudah sewajarnya aku meluangkan waktuku untuk bekerja paruh waktu, tapi
apakah aku bisa?? Sementara biasanya setelah usai mengajar aku berdiam diri di
rumah menemani perempuan paruh baya yang sudah semakin letih itu. Aku
memejamkan mata dan menelan kegetiranku sendiri. Aku menatap perempuan paruh
baya itu yang sedang memakan roti panggang buatanku pagi ini, wajah cerianya
pagi ini sedikit melupakan persoalan yang baru saja terlintas dipikiranku.
Wajahnya yang bersih, pakaiannya yang rapi dan wajahnya yang berseri jauh
berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.
“Letakan dulu di sana!”
Lelaki
berseragam itu menyuruhku untuk meletakan perangkat pembelajaran yang tebalnya
sama dengan SKRIPSI, tugas yang diberikan oleh guru pamongku baru selesai malam
kemarin, cukup sulit juga ternyata, membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
untuk satu tahun dengan cara penyampaian yang bervariasi.
“Bagaimana perkembangan
siswa yang kamu didik?”
Aku
terperangah mendapati pertanyaan seperti itu. Apa yang harus aku katakan?
Menjawab sejujurnya atau berbohong demi kebaikan? Sungguh pilihan yang sulit,
dan dengan sangat terpaksa aku hanya menjelaskan bahwa keadaannya baik-baik
saja tak ada masalah, dan tak ada yang perlu dipikirkan. Jika dinilai dari
kejujuranku, aku hanya bisa diganjar sebanyak 10% dari apa yang aku katakan,
dan 90%-nya aku simpan dan kututup rapat-rapat dalam pikiranku.
Selepas
perbincangan yang cukup lama dengan guru pamongku, aku langsung masuk ke kelas
XII IPS 2, dan aku bertemu kembali dengan wajah-wajah yang tak senang belajar
denganku, bahkan kali ini siswanya berkurang. Ketika kucari tahu, ternyata
sebagian dari siswa laki-laki secara sengaja pergi ke ruang olahraga terbuka di
belakang sekolah dan bermain futsal disana, aku tak tahu apa yang harus aku
lakukan, aku hanya menjalani dan menikmati saja tugasku sebagai pengajar. Ada
sekeping beban yang merajamku, sebagai seorang guru sudah seharusnya aku bisa
mengajarkan etika dan perangai yang baik kepada mereka, apapun yang terjadi.
Satu ide terlintas di benakku, aku mengajak siswaku keluar kelas menuju tempat
yang teduh, dibawah pohon-pohon tua yang rindang. Siswa laki-laki yang sedari
tadi bermain futsal perhatiannya tertarik juga, mereka datang menghampiri dan
sibuk bertanya-tanya kepada temannya sendiri apa yang terjadi. Begitu
antusiasnya mereka dengan apa yang akan aku lakukan, dan ini menjadi hal baru
juga untukku, dan pengalaman pertamaku membawa siswa keluar dari kelasnya.
Langkahku terhenti di sebuah tempat tak jauh dari lingkungan sekolah.
“Apa yang mau kita
lakukan disini Pak?”
Seorang
siswa perempuan bertanya kepadaku, aku yang masih berdiri mencoba mencari
sebuah tempat untuk aku duduki dan menyuruh anak didikku untuk melakukannya
juga. Rindang pohon dan sejuknya angin di hari menjelang siang itu membuat
wajah para siswaku berubah menjadi sedikit melupakan garis penatnya. Bukit belakang
sekolah yang kini aku pijak adalah salah satu bukit dari 10.000 bukit di
Tasikmalaya yang mulai hilang karena keberadaannya yang berangsur punah dimakan
keserakahan zaman. Dari bukit inilah aku dapat menyaksikan pemandangan kota
Tasikmalaya yang pada umumnya lahan persawahan yang dulu membentang hijau kini
dikonversi menjadi sebuah perumahan, pabrik-pabrik dan tempat-tempat makan.
“Ayo semuanya berbalik
arah.. Pandangannya menuju ke arah kota sana!”
Semua
siswa mengikuti perintahku, aku takjub seketika melihat perubahan siswaku yang
begitu signifikan. Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya, kemudian
memulai strategi mengajarku dengan mempertimbangkan teori dan realita, seiring
dengan materi yang masih menggeluti dunia industri, sepertinya hal ini cocok
dengan apa yang spontanitas aku lakukan sekarang, karena siswa bisa share dan bilang apa adanya mengenai
perkembangan kota yang membesarkan mereka.
Jelas
benar kurasakan, begitu nyata semua yang terjadi hari ini. Senyumku mengembang
sepanjang hari, sampai aku pulang dan membuka pintu rumahku. Suasana hening,
aku telat pulang ke rumah karena seusai pulang sekolah aku dipadatkan dengan
kesibukan (Kuliah Kerja Nyata) KKN-ku. Remang di rumahku seolah berbicara
mengenai firasat buruk, aku gundah, jantungku berdetak tak seperti biasanya.
Aku berhenti sejenak di muka pintu kamar perempuan paruh baya itu, ku menghela
nafas dan membuang jauh-jauh pikiran negatif yang aku khawatirkan. Kubuka
gembok yang mengunci kamar perempuan paruh baya itu dan kubuka mulut pintu yang
bisu itu.
Aku
tersentak, terkejut bukan main. Dimana keberadaan perempuan paruh baya yang
selalu menyambutku dengan pakaian kusut dan yang selalu bilang pejabat itu?
Kudapati jendela kamar yang berantakan, serpihan kaca yang berserakan disekitarnya
membuat aku takut dengan apa yang terjadi? Mungkinkah perempuan paruh baya itu
melarikan diri? Ataukah ada seseorang yang membawanya pergi?? Aku pun bergegas
keluar rumah dengan perasaan yang sulit aku lukiskan, takut, cemas, dan gejolak
firasat buruk merajam pikiranku. Baju safari yang aku kenakan tak sempat
kulepas, sepatu kulit hitamku masih menempel di kakiku, aku mengunjungi saudara
terdekatku dan menanyakan perempuan paruh baya itu namun hasilnya nihil, tak
ada seorang pun yang tahu, tiada henti kupacu langkahku, kudatangi tempat yang
biasa didatanginya dulu, dia pun tak ada, kudatangi tempat yang mungkin dia
datangi, alhasil dia pun tak kunjung kutemukan. Sempat aku putus asa dengan
pencarian sepanjang malamku yang sia-sia, kini ku duduk di tiang penghalang
jembatan kota, yang menghubungkan wilayah melintasi sebuah sungai besar.
Kuterawang malam yang benar-benar telah sunyi itu, kawanan serangga malam yang
menggelutiku tak kuhiraukan, tak peduli mereka menghabiskan darahku maupun merusak
jaringan tubuhku, yang kuhiraukan saat ini adalah bagaimana cara menemukan
kembali perempuan paruh baya itu?
Sudah
pukul satu pagi, aku telah berdiam tanpa kata selama kurang lebih dua jam
lamanya. Lampu kota yang berderet sepanjang sungai terlihat bagai gemintang
yang bereuforia, indah namun tak sanggup membuat pikiranku berada dalam
ketenangan. Ada satu ingatan yang tak pernah aku lupakan, saat itu satu tahun
silam, saat perempuan paruh baya itu berada dalam kondisi yang normal. Setiap
pagi ia menciptakan senyum dan menciptakan romansa keluarga yang begitu lembut.
Suatu ketika, romansa itu hilang, kakak sulungku meninggal tiba-tiba di
perantauan bersama suami yang telah dinikahinya selama 7 tahun. Kabar buruk itu
datang lewat sepucuk surat yang diam-diam terselip di pintu rumahku siang itu,
perempuan paruh baya itu mengambilnya tanpa perasaan curiga, aku yang sedang
membaca sebuah majalah sastra yang aku beli dari hasil menyisihkan uang jajanku
menatap dalam-dalam pada perempuan itu. Dia membuka surat yang dikirimkan dari
Pulau Borneo itu, tak sampai satu menit perempuan paruh baya itu menangis
meledak-ledak, air matanya yang mengalir tak kuasa dibendungnya, aku pun
bangkit dan mencoba mengetahui apa yang terjadi. Pesan singkat yang kudapat
dari lembar itu adalah kabar kematian kakak sulungku, tidak diketahui sebabnya
dan tidak diketahui mengapa semuanya menjadi seperti itu. Kuraih ponsel yang
tergeletak diatas meja, aku menghubungi nomor kakak iparku, namun tak kudapati
jawaban, bahkan nomornya mendadak tidak bisa dihubungi.
Sejak
saat itu perempuan paruh baya itu mendadak sering sakit-sakitan, tak urung tiap
minggu ia dibawa pergi ke dokter oleh ayahku, kadang ditemani pula olehku,
namun setelah berjalan selama enam bulan, semuanya tak berjalan dengan baik, kematian
kakak sulungku menjadi teka-teki yang tak terpecahkan, ayahku pergi merantau ke
Jakarta namun tak pernah kembali lagi ke rumah, dan perempuan paruh baya itu
mempunyai jiwa yang baru, penangis, pendiam bahkan terkadang pemarah, aku hanya
menelan pil pahit yang sama sekali tak pernah aku kira sebelumnya.
Seruan
suara kereta api yang melintas di ujung sungai itu membahana, mengembalikan
kesadaranku bahwa kehidupan harus terus berjalan, aku pun bangkit dari tempat
itu, rasa lapar dan lemas tiba-tiba menghantam diriku, aku berjalan tertatih
dengan pandangan yang masih mencari-cari. Secara tak sadar daun pintu rumahku
menganga, tadi sore menjelang malam selepas aku pergi meninggalkan rumah begitu
saja aku lupa untuk menutup pintu, kupercepat langkah kakiku menuju kamar
perempuan paruh baya itu, dan masih tak dapat kutemukan sorot matanya.
Dua minggu telah berlalu, wajahku pucat dan kondisiku
semakin terpuruk. Aku tak memberi kabar kepada sekolah yang saat ini aku
tinggalkan, guru pamongku berkali-kali menghubungiku namun tak jua aku
hiraukan, aku t’lah kehilangan segalanya, bahkan satu-satunya harta yang
terakhir aku miliki hilang ditelan waktu. Aku makan dari belas kasihan saudara
terdekatku, mereka tiap hari mengantarkan makanan dan memberi dorongan spiritual
bagiku, namun percuma.
“Tok..tok..tok..”
Pintu
kayu rumahku memanggilku di pagi itu, aku yang tengah termenung tanpa tertidur
sedikitpun selama beberapa malam menghampiri arah pintu itu. Sangat terkejut,
beberapa siswaku datang diam-diam untuk mengetahui keberadaanku yang sempat
menghilang beberapa pekan. Mereka terpaku setelah mendengar ceritaku, mungkin
mereka merasa iba dengan kondisi fisikku sekarang yang berbeda dengan saat aku
berada di kelas mereka dengan senyum yang kutawarkan.
“Maafkan
kesalahan kami Pak! Kami janji tak’kan mengulanginya lagi, kami merindukan
kehadiran Bapak di kelas. Dan kami juga janji untuk membantu Bapak…”
Pernyataan
halus yang dilontarkan seorang siswa laki-laki yang biasanya dia tak pernah
memperhatikan setiap materi yang aku sampaikan itu terdengar begitu jelas,
dadaku sesak, tak pernah kusangka siswa yang biasanya ngobrol saat aku memberi
pengajaran berkata jujur kepadaku, aku hanya memandangi siswaku dengan perasaan
haru dan hanya mengatakan mungkin aku akan kembali menemani mereka setelah
menemukan perempuan paruh baya yang hilang itu. Para siswaku sedikit kecewa
dengan pernyataanku, namun kulihat ada kekhawatiran juga di mata mereka.
“Pak, boleh kami minta
fotonya?”
“Ayo Pak…cepat!!!”
Para
siswaku menarik langkahku menuju suatu tempat, hari ini adalah hari ketiga
setelah mereka datang ke rumahku, hari ini mereka datang kembali dengan kabar
yang membuat aku tak percaya. Bis yang aku tumpangi selama beberapa jam lamanya
dari Tasikmalaya menuju Jakarta kutinggalkan, para siswaku menghentikan sebuah
kendaraan umum dan memacunya menuju satu tempat di sudut kota.
“Bandara??”
Aku
mengerutkan kening. Bagaimana bisa para siswaku mengutarakan bahwa orang yang
ada pada foto yang kuberikan tiga hari yang lalu itu telah diketahui
keberadaannya di tempat yang tak pernah terlintas di pikiranku, aku tak ingin
banyak bicara dan menanyakan bagaimana mereka dapat mengetahui hal itu, namun
aku benar-benar merindukan perempuan paruh baya itu. Ban kendaraan roda empat
itu berdecit, berhenti di gerbang pintu masuk bandara. Salah satu siswaku
berlari dengan membawa lembar kertas yang tak kuketahui isinya, ia menemui
salah satu orang lalu memanggilku dengan keras sambil melambai-lambaikan
tangannya. Dadaku semakin sempit, nafasku tertahan, mataku kembali panas.
Kulihat seorang perempuan paruh baya yang tak asing lagi itu duduk tersungkur
di pinggir gerbang masuk bandara.
“Perempuan
ini sudah hampir dua minggu berada disini, aku telah berulang kali menyuruhnya
pergi tapi dia tak mau pergi.”
Begitulah
yang dikatakan seorang petugas keamanan kepadaku, air mataku tak sanggup lagi
kutahan, aku langsung merangkul perempuan paruh baya itu dan memeluknya. Isak
tangis dan pandangan berkaca-kaca kulihat jelas dari wajah para siswaku. Aku
menemukan harta yang paling berharga dalam hidupku, sadar ataupun tidak sadar
satu hal yang tak akan pernah terhapus dalam takdirku, perempuan paruh baya itu
adalah ibuku.
Satu
kalimat yang terus-terusan aku dengar dari mulut ibuku, suatu pengharapan,
suatu keinginan besar, dan suatu perasaan tak menentu.
“Ibu
ingin pergi ke Kalimantan!! Ibu ingin pergi ke Kalimantan!! Ibu ingin pergi ke
Kalimantan!!”
Kurasakan
basah di punggungku, ibu menangis dengan tatapan kosong, namun aku tahu ada
senyum di wajah letihnya.
Comments
Post a Comment