Buah Karya : Muhammad Irfan
14
Agustus 1945
“Tang!”
bunyi hantaman palu godam itu kembali membangunkan tidur siangku. Sebenarnya
tak ada waktu tidur bagi kami, tapi aku sering mencuri waktu walau semenit
ketika para tentara Jepang itu lengah, walau semenit. Ya, kini telah siang. Tenagaku
benar-benar habis, badanku terasa bergetar menahan tulang dan kulit yang masih
tersisa di tubuh kecil ini.
Aku butuh nasi busuk yang diberikan
tentara Nippon itu tadi pagi. Kami hanya mendapat setengah batok nasi dalam
sehari. Tangan ku mulai meraba-raba tanah, karena cahaya yang masuk tak mampu
menerangi seantero lorong Goa Jepang ini.
“Ros, tidakkah kau melihat nasiku
disini?” tanya ku pada Alveros, salah satu buruh baru yang ku kenal dari ribuan
buruh yang telah mati. Dia salah satu buruh kiriman dari Papua.
“Nasi apa? Yang ku lihat dari tadi hanyalah dinding dan palu
berat ini.”
“Jangan bercanda! Hanya itu sisa makanan yang kupunya. Yang
telah ku sediakan dari tadi pagi.”
Alveros tampak berpikir sejenak, “Kalau
tak salah aku tadi melihat si Sugeng membawa batok berisi nasi.” Tangannya
menunjuk kearah lorong yang berlawanan. Langsung aku menuju kearah yang ia
maksud dengan tergesa. Aku bertanya pada setiap
orang yang ku temui apakah mereka melihat buruh yang bernama Sugeng.
Berusaha melewati lorong ini
mengingatkan ku mengapa aku bisa berada di dalam goa gelap ini.
******
Dulu aku adalah seorang bapak dari
keluarga kecil yang sederhana. Kami tinggal di suatu perkampungan di pinggir
Kota Bukittinggi.
Tak ada yang spesial dari kami. Hanya karena
rasa cinta dan kasih yang membuat
keluarga sederhana ini begitu indah untuk dikenang.
Si Upik, gadis cantik bunga desa di kampong
ku. Umur ku terpaut 10 tahun lebih tua darinya. Ia kulamar dari seorang petani yang
bekerja serabutan tidak jelas tiap harinya. Ia pun meng-ikhlas-kan anak gadisnya
menjalani bahtera rumah tangga bersamaku.
Tahun pertama pernikahan kami, kami
lalui dengan penuh cinta. Hingga akhirnya si Upik mengandung janin di rahimnya. Tak terasa anak yang dikandung si Upik
telah lahir. Ia adalah bayi perempuan
yang sangat cantik. Kami memberi namanya Fitri.
Kami berusaha mengumpulkan uang
bersama. Hingga akhirnya kami dapat membeli rumah sendiri setelah dua tahun
menumpang di rumah ayah si Upik. Tahun demi tahun kami lalui di rumah
sederhana itu penuh kasih dan cinta. Fitri anak kami pun telah berusia lima
tahun.
Hingga datanglah hari itu, tiga tahun
lalu pada tahun 1942. Hari dimana Tentara Jepang datang ke desa kami. Mereka
menarik setiap lelaki yang masih produktif
untuk dipekerjakan.
Malam itu aku sedang mengajarkan si
Fitri mengaji Al-qur’an. Lalu tentara itu mendobrak pintu rumah kami dan mereka
segera menangkap ku dan mau membawa ku pergi mengikuti mereka.
Aku sempat melawan, tapi salah satu
dari mereka menodongkan bayonet yang mereka pegang ke arah gadis kecil ku Fitri.Tampak
Fitri menjerit dan menangis. Mereka pun telah mendapatkan si Upik istri ku yang
sedang berada di dapur. Aku tak mau mereka menyakiti orang-orang yang paling ku
sayangi. Jadi aku pasrah mengikuti perintah mereka.
Tiba-tiba ada yang memukul kepalaku
dengan senapan dari belakang, hingga aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelah
itu.
Ketika aku terbangun dan membuka mataku,
aku sedang diseret di lorong yang sedang ku lalui saat ini.
Hingga saat itu sampai kini aku
berusaha untuk melupakan semua kenangan masa laluku, keluargaku, dan semua
fantasi yang ada di dunia luar.
******
“Sial!” Lorong yang ku lalui sudah
hampir sampai ujung, tapi tak ada seorang pun melihat buruh yang bernama Sugeng
melewati lorong tersebut.
Tubuh ku rasanya benar-benar ingin
jatuh. Jangan! Aku tak boleh jatuh. Karena setiap buruh yang jatuh dan sakit
akan langsung di buang ke lubang pembuangan. Dengan kata lain di bunuh dengan
cara di lempar dari tempat yang tinggi. Lalu tubuh yang di lempar akan terjun
lepas dari ketinggian seratus kaki diatas tanah. Tapi aku benar-benar sudah
tidak kuat.
******
“Tunggu dimana aku kini, tempat apa
ini? Mengapa begitu menyengat bau busuk disini? Astaghfirullah!” di sekelilingku
tergeletak mayat-mayat dingin yang telah lama membusuk.
Tampak olehku tentara-tentara Nippon
itu memasukkan mayat-mayat, kepala-kepala yang sudah terputus, bahkan buruh yang
masih hidup tapi sudah tak produktif tetap dipaksa untuk dimasukkan ke dalam
lubang itu untuk dibuang.
Aku tak boleh ikut dibuang kedalam
lubang itu! Perlahan-perlahan aku berusaha untuk bangkit dan bangun.Aku mulai
menggerakkan jempol kaki ku, ya aku mulai menggerakkan kaki, tangan dan tubuh
ku. Aku mulai menggapai dinding agar aku dapat berdiri.
Ya, aku sudah mulai setengah berdiri.
(Bukk), Tiba-tiba kaki ku di tendang dari belakang, hingga aku tersungkur
kembali. Lalu terasa olehku mereka menginjak-injak tubuhku dengan keras. Tapi
entah mengapa tak terasa sakit sedikit pun. Tubuhku telah mati rasa.
******
Aku merasakan sangat pusing di kepala
ku. Semuanya sangat gelap. Perlahan kubuka mataku. Rasanya aku telah tertidur,
atau pingsan selama semalaman.
Aku merasa ada yang mengangkat
tubuhku. Mungkin ini saat nya tubuhku dibuang oleh para Tentara Nippon itu.
Ketika kurasakan kepala ku telah memasuki
lubang pembuangan. Ku dengar ada suara derap kaki seseorang yang sedang berlari
tergopoh-gopoh dari kejauhan perlahan mendekati ruang pembuangan.
Terdengar oleh ku suara Tentara Nippon
sedang berbicara dengan suara yang keras dan lantang. Terdengar ada suatu
masalah besar yang terjadi.
Tiba-tiba mereka melepaskan tubuhku.
Dapat kulihat sedikit dengan mata yang setengah terbuka para Tentara Jepang itu pergi meninggalkan goa.Tak
lama setelah para Tentara Jepang itu pergi, terdengar suara teriakan yang
memecahkan kesunyian. “ Jepang menyerah!”, lalu setelah itu suasana di sekitar
goa terdengar begitu ribut, riuh oleh seluruh buruh yang tampak berlari dengan
senang, dan euphoria yang sangat membuncah. Mereka keluar dari goa
beramai-ramai.
Lalu kurasakan tiba-tiba ada yang
mengangkat tubuhku dan menggotongnya perlahan keluar dari gua.“Nama koe siapa?”, suara yang keluar dari
orang yang sedang menggotong tubuhku.
“Salam, kau bisa memanggil ku Ajo. Itu
sebutan yang diberikan oleh warga disekitar sini kepada ku.”, jawab ku
perlahan.
“Apa yang sedang terjadi?”, tanyaku
padanya.
“Hari ini bertepatan dengan tanggal 15
Agusutus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu!”.
“Baguslah “ hanya itu jawaban yang
bisa kuberikan. Karena aku belum makan dari kemarin pagi, dan tak bisa berbuat
lebih.
“Rumah koe ada di mana ?”
“Antarkan saja aku ke gubuk di dekat
gua ini.”
“Ah, bagaimana kalau kita merayakan
dulu kebebasan kita ini. Akan ku traktir koe
di Rumah Makan Nasi Kapau. Poko’ e koe
boleh nambah sampai muntah.”
Aku hanya dapat mendengar suaranya
dengan kecil. Karena selain tubuhku yang lemah suasana di sekitar Kota Bukittinggi
sangat riuh oleh massa. Seluruh warga merayakan akan menyerah-nya Jepang kepada
sekutu.
Tak terasa aku telah duduk di Rumah
Makan Nasi Kapau. Tampak seluruh lauk-pauk dihidangkan didepanku. Mulai dari randang, dendeng batokok, sampadeh, ayam
balado, tunjang, gulai toco, kantang dan lainnya. Hingga memenuhi meja yang
kami tempati.
Tak menunggu lama langsung kuambil
nasi yang terbuat dari bareh solok itu dengan sangat banyak. Hingga memenuhi
piring kaca di depanku. Kuambil sambal yang terdekat dengan ku yakni ayam balado. Lalu kubasahi nasi dengan
kuah dari gulai toco yang ada di
samping ku. Tak lupa sayur toge agar gizi di piringku pas.
Setelah aku mencuci tangan kanan ku,
aku teringat aku belum tahu tahu siapa nama orang baik yang mau mentraktir ku
nasi kapau ini.
Dengan berbasa-basi aku bertanya, ”Dari
tadi anda menolong saya tapi saya belum tahu siapa nama anda?” .
Dia pun menjawab dengan pelan dan
tersenyum, “Nama saya Sugeng.”.
******
“Tang!” suara palu godam itu kembali
membangunkan tidur ku. Rasanya aku tadi memimpikan sesuatu. Entahlah, yang
pasti aku merasakan lapar yang sangat. Karena dari tadi pagi aku belum makan
sedikit pun.
Aku mulai meraba- raba tanah mencari
batok nasi yang kusediakan tadi pagi.
Untuk Mengenang Jasa Para Buruh di Goa Jepang.
Comments
Post a Comment