Skip to main content

__++**RRR**++__


Penulis              : Cucu Sudiana
Tgl Penulisan       : Mei 2012

Daun kering yang terhampar begitu banyaknya tersapu oleh jejak angin yang mengintai ruang-ruang kosong di hadapan kerikil yang membisu. Suasana yang lengang menyihir pikiran untuk diam sejenak di kursi kayu yang tertanam di bawah pohon yang daunnya terus menggerutu karena udara yang tak mau diam.
“Ssrk… ssrk…!”
Terdengar gerak langkah yang menginjak dedaunan tak bernyawa, semakin dekat dan semakin jelas dua bola matanya menatap halaman kecil itu.
“Aah.. pendinginan otak sambil memejamkan mata sejenak!”
Mata ngantuk itu tertutup, kepalanya bertumpu pada kedua tangan yang disilangkan, setumpuk tugas sejenak ia palingkan dari otaknya.
“Sudah kubilang, kemarin aku ada urusan lain!!”
“Udah jangan banyak alesan, aku tahu itu cuma mengada-ada!! Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, kamu jalan sama orang lain di mall, waktu itu aku..”
“STOP!! Aku ng’gak mau lagi denger ceritamu, kalau kamu sudah ng’gak percaya lagi sama aku, itu artinya hari ini juga KITA PUTUS!!”
Suara-suara keributan yang terjadi tidak jauh dari halaman kecil yang dipenuhi rumput segar itu terdengar begitu jelas. Memekakkan telinga ketika suara lelaki itu membentak makhluk tak berdaya dengan emosi yang meluap-luap. Mata yang sedikit merah karena menahan rasa kantuk  itu terbuka, membangunkan raganya dan mendirikannya secara vertikal. Terlihat sosok perempuan tengah duduk ditemani air matanya. Selang beberapa detik, lelaki yang terlentang malas di kursi kayu tadi menapakkan kakinya di hadapan perempuan yang tertunduk itu.
“Belajarlah dari apa yang telah terjadi, ikuti kata hati, pergilah dari selatan jika tujuanmu utara dan hapuslah tangismu jika ingin menatap esok yang lebih bahagia!”
Seulur tangan dengan sapu tangan biru di atasnya disertai segurat senyum di wajah lelaki itu.
“Makasih yach..!”
Gadis yang bernama lengkap Revina itu menegakkan mukanya dan melihat dengan pandangan kosong seorang lelaki yang menyambutnya, kurus, kecil namun agak tinggi, matanya berkantung dengan polet hitam dibawahnya, mengisyaratkan rasa kantuk yang menjadi-jadi, dengan tersenyum simpul Revina mengambil  sapu tangan dan mengusap kedua sisi matanya.
“Valdo..! Valdo..!”
Lelaki berjaket dengan topi di kepalanya mencari-cari orang yang sebenarnya sedang berhadapan dengan perempuan yang masih terisak.
“Aku harus pergi sekarang..”
Tanpa menunggu Revina menyahut, Valdo sudah bergegas berjalan ke arah lelaki berjaket itu. Dan keduanya pergi dan menghilang dibalik tembok-tembok yang berdiri dengan lantangnya. Suasana kembali lengang, Revina duduk bertemankan syahdunya suara angin, ranting dan dedaunan yang berserakan menggambarkan hatinya yang sedang berantakan. Mata yang sembab dan air mata yang perlahan menyusut menciptakan panorama biru di tengah teriknya matahari.
®®®
Ruang di sudut kampus Universitas Siliwangi itu menjelma menjadi gudang ilmu bagi para mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi, ada aktivitas yang mengakibatkan mata semua mahasiswa terpusat, mengunci telinga untuk setia mendengarkan apa yang diungkapkan seorang dosen yang berkepribadian, pola mengajar yang brilliant dan mempunyai budi bahasa yang baik. Konsep Hidrologi dipaparkan olehnya sedemikian menariknya. 90 menit berlalu, riuhnya pertanyaan dan penjelasan terhenti.
“OK..! Mata kuliah bapak hari ini cukup sekian. Selamat siang..!”
Seiring dosen keluar, para mahasiswa merapikan tasnya dan hendak mengikutinya untuk keluar dari ruangan. Valdo diam sejenak ada catatan penting yang lagi-lagi belum ia selesaikan, untuk mengingat apa yang diutarakan dosen barusan, perlu konsentrasi penuh untuk dapat mengambil hal-hal yang perlu diabadikan, goresan tinta hitam memenuhi kertas putih, tanda titik keluar ketika Valdo menekan secara keras di ujung huruf terakhirnya hingga meninggalkan bekas menjorok di kertas itu.
Ada suara yang tergesa-gesa, paduan bunyi sepatu di teras yang tak menentu. Valdo segera keluar dan ketika mengeluarkan badannya dari ruangan….
“BRUKKSSS…!!!”
Dua tubuh bertabrakan dan jatuh, terdengar suara gelas pipa yang hancur, menyisakan kepingan kaca.
“Adukh.. mati gue!”
Perempuan mungil dengan rambut pendeknya memasang muka takut sekaligus sakit. Valdo yang dari tadi bengong melihat wajah yang manis dibumbui rasa gelisah pada matanya tersadar bahwa tangannya berdarah karena gelas pipa yang pecah, kepingannya menempel pada telapak tangannya.
“Aww…!”
Valdo mulai merasa perih dan darah terus keluar, seketika gadis mungil itu kaget melihat tangan Valdo yang berlumuran darah.
“Ya ampun.. sini-sini aku bersihkan! Aku minta maaf, aku tukh terburu-buru, temen-temen pada keluar duluan, so.. ku ketinggalan dech!”
Perempuan mungil itu meraih tangan Valdo, mengeluarkan air mineral dalam botol minuman yang diambil dari tasnya , secara halus ia membasuh darah yang masih keluar dari telapak tangan Valdo lalu mengikatkan saputangan agar darah tidak keluar lagi. Tangan halusnya membius bibir Valdo untuk sejenak berdiam dan hanya memandangi wajah mungil yang jaraknya hanya beberapa cm saja.
 “Kamu anak Geografi yach!”
Kali ini perempuan mungil itu menegakkan wajahnya dan memandangi Valdo.
“Lho, kok kamu tahu?”
“Ya iyalah, secara kamu kan baru aja keluar dari ruang kuliah Geografi!”
“Okh..! YupZ bener banget. Hhmm oo iya siapa nama kamu?”
“Kenalin nama aku Vani..!”
Sedikit senyuman dengan mata lentik.
“Kamu anak Bilologi yach..!”
“Ya bener, hmm.. pasti lihat aku bawa-bawa gelas pipa yach!”
“Ng’gak kok, aku tahu aja setelah lihat muka kamu..”
“Emanknya kenapa dengan muka aku?”
Vani mulai mengerutkan keningnya.
“Itu tukh! Kayak yang diteori Darwin, jhaha..!”
Tawa lepas Valdo begitu renyah di telinga.
“Wakh dasar.. Awas yach! Ekh iya, gantian donk ku belum tahu nama kamu”
“Namaku Rivaldo, boleh dipanggil Valdo aja.. Terus gimana nich?? Gelas pipa ini pasti harus diganti kan!”
Valdo mulai menaikan alisnya.
“Oo.. ya udah dech, itu urusan aku, lagian gelas pipa ini pecah gara-gara aku juga yang ceroboh, apalagi sampai lihat tangan kamu yang berdarah, dukh sorry banget yach..!”
Vani merapatkan kedua telapak tangannya dan menempelkan telunjuknya di bawah dagu sebagai pertanda permohonan maafnya. Valdo yang melihatnya hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya, tangan kanannya sibuk membereskan pecahan kaca untuk dibuang ke tempat yang aman, Vani menurunkan tangannya dan ikut merapikan pecahan.
“Trriitt..! Trriittt..!”
Isi dalam saku celana Vani mengeluarkan bunyi panggilan. Vani mulai berhenti menggerakkan tangannya di lantai dan berusaha meraih handphone-nya.
“Hallo.. ada apa Vin?”
“Ada apa-ada apa..! Masih dimana sich? Lelet banget! Pokoknya cepetan yach! Udah laper nich pengen pulang! Tut..tut..tut……..”
Telepon berakhir, dan Vani memasukkan handphone-nya kembali ke dalam saku celananya.
“Adukh Valdo maaf yach! Aku dah ditungguin di parkiran sama adik aku..”
Valdo beranjak dari lantai dan membawa serpihan kaca dalam kantong kresek.
“Kalo githu, kamu duluan aja, biar ini aku yang buang”
“Makasih yach, sekali lagi maaf, tangan kamu sampe berdarah githu, ya udah, bye..”
Dengan langkah terburu-buru Vani beranjak meninggalkan tempat dan menghilang di kejauhan, suara langkah kaki menginjakkan tanah berangsur-angsur raib. Angin yang berlarian kesana kemari masih tetap setia bercanda tawa bersama dedaunan. Langit di sore itu memancarkan kehangatan bagi bumi, awan tipis yang mulai memerah mengantarkan matahari untuk terlelap.
®®®
“Duk..duk..duk..jdak!!”
Bola basket menghantam papan tanpa menyentuh ring. Bola kembali di tangan Valdo dan shoot bola pun masuk ring tanpa goresan, hanya keranjang yang bergerak maju mundur. Tiga puluh menit lamanya Valdo bergerak kesana kemari dan asyik memainkan bola, beberapa lemparan dunk yang ia pelajari di UKM Bola basket diperagakan. Kaos hitam nomor 23 dibanjiri keringat, nafas pun mulai terengah-engah! Ketika mata Valdo menerkam ring tiba-tiba…
“Jpret..!”
Kilauan blitch kamera menyilaukan mata dan bola terhempas ke bawah. Seseorang datang dengan jaket dan topi di kepalanya, tangan kirinya menenteng kamera digital dan tangan kanannya meraih bola lalu melemparkan kembali ke arah Valdo.
“Ng’gak salah lagi pasti loe Prezky!”
“Akh loe, tahu aja ma orang keren!”
“Ya abis siapa lagi? Pria berjaket, bertopi terus bawa-bawa kamera, so pasti loe!”
“Bisa aja akh!he..”
Valdo beralih ke pinggir lapangan, lampu sorot ke arah lapangan kini bersih tanpa bayangan. Sebotol air mineral diteguk habis olehnya. Bunyi nafas yang berkejaran kembali teratur. Prezky mengikutinya dan duduk di sebelah Valdo, matanya masih menerawang melihat gambar-gambar di kameranya yang ia potret hari ini.
“Udah lama Prez?!”
Valdo menoleh sambil mengelapkan handuk kecil ke wajahnya yang basah.
“Belom lama kok, tadi kata si m’bok loe lagi latihan di lapangan basket, so gue langsung aja nyamperin ke sini!”
Prezky menghentikan jari-jarinya dan menurunkan kamera, ditolehnya tangan Valdo yang berbalut perban.
“Tangan loe kenapa Do?”
“Okh ini, tadi sore waktu di kampus gue ng’gak sengaja bertabrakan ma cewek Biologi yang kebetulan lagi bawa gelas pipa, tanpa sengaja gelasnya jatuh dan tangan gue menimpanya..”
“O’oouww… ekh tapi eloe enak yach, tabrakannya ma cewek! Jahaha…”
Keduanya tertawa sekejap, Prezky menyimpan kameranya lalu meraih bola dan menggelindingkannya menuju ring, Valdo berdiri dan kembali ke lapangan untuk berebut bola.
®®®
Tissu yang lusuh berserakan di lantai kamar perempuan bermata lentik itu, wajahnya yang oval dan rambut panjangnya yang selalu terurai sama sekali tidak menggambarkan sosok perempuan yang sebenarnya lembut. Ia meraih beberapa foto dirinya bersama seorang lelaki, air matanya semakin jelas keluar dan berjatuhan, namun seketika ia menghentikan tangisannya dan mengambil ancang-ancang untuk merobek-robek semua lembar foto yang sudah bertahun-tahun ia jaga dengan baik.
“Percuma..buat apa kita hubungan bertahun-tahun?? Jika pada akhirnya kamu ng’gak lagi percaya ma aku!!”
Sobekan kecil kertas foto itu dihamburkan, hingga kini kamar yang serba pink itu nampak seperti kapal pecah yang bersiap untuk karam.
“Hari ini aku gak’kan pernah percaya lagi dengan makhluk yang namanya cowo!! Cowo bisanya cuma nyakitin, mau menang sendiri dan gak pernah sekalipun ngerasain apa yang kita rasain!!”
Perempuan yang mengenakan kaos putih bertuliskan “Is Time To Leave” itu kembali tertunduk, dan kembali larut dalam kepedihannya.
“Tok..tok..tok..tok..!!”
Pintu kamar yang berada di sudut kamarnya memanggil.
“Waktunya makan malam Vin, ayo kita turun ke bawah! Mama papa udah nungguin tukh!”
Terdengar saudara kandungnya menyuruh dirinya untuk bergegas keluar, berkali-kali ia mengetuk pintu tanpa ada sahutan.
“Vin..kamu gak apa-apa kan? Coba buka pintunya! Kakak mau masuk..”
Perempuan bermata lentik penyandang nama lengkap Revina itu perlahan membuka pintu yang sedari tadi dkuncinya. Dan ketika saudara kandungnya dapat menangkap apa yang terjadi ia langsung memeluk Vina. Ia tahu jika adiknya tengah patah hati, foto pujaan hatinya yang lama menempel di dinding kamarnya kini tak lagi nampak, yang tersisa hanya bekas kotor di dinding hasil sobekan tadi. Vina tak bereaksi ketika kakaknya sendiri menanyakan apa yang telah terjadi kepada adik semata wayangnya, ia mengunci mulutnya dan meskipun tanpa suara air matanya membasahi pundak perempuan yang sedang memeluknya dengan erat.
“Kakak ngerti..Vina gak usah berkecil hati ataupun membencinya..Vina harus membuka mata dan lihat dunia yang begitu luas ini. Pepatah bijak mengatakan “Janganlah engkau bersedih karena kehilangan dia, seharusnya dialah yang seharusnya sedih karena kehilangan kamu” Vina harus tunjukkan itu, Vina gak boleh lemah!”
Vina semakin erat memeluk kakaknya, tak ada seorang pun yang mampu meneduhkan hatinya yang sedang kusut selain kakaknya sendiri.
®®®

Gelap, namun tidak terlalu gelap, remang…
Terang, namun tidak terlalu terang, remang…
Malam itu adalah malam yang spesial, tak akan ditemui dalam malam-malam yang biasanya terlewati begitu saja, bahkan tidak terjadi setiap tahun. Inilah yang dinamakan Supermoon, ketika bulan menjadi empat kali lebih besar dari biasanya.
“Kembang apinya..!! Kembang apinya..!!”
Seorang perempuan berjubah merah terlihat tergesa-gesa sambil menyelundup diantara orang-orang, perihal demikian seperti yang dilakukan  Amanda Seyfried dalam film Red Riding Hood ketika seorang werewolf memburu dirinya. Ia terlihat sibuk membagikan kembang api dari kantong yang dipegangnya. Semakin dekat ke arah lelaki yang tengah melihatnya sejak tadi, kekurangan cahaya membuat lelaki tinggi kurus itu susah membidik wajahnya, ditambah lagi kupluk jubah merah itu menutupi sebagian wajahnya. Dari berlainan arah nampak seorang lelaki yang menerobos kerumunan orang-orang, entah kenapa orang itu begitu terburu-buru, dan oooppppzzzz….
“Brrruukkk!!!!!!!”
Tubuh lelaki itu tanpa sadar menghantam lengan perempuan si kembang api, perempuan itu terhuyung dan mau jatuh, sontak lelaki tinggi kurus itu menangkap tubuh perempuan berjubah merah. Perempuan itu tak jatuh diatas tanah, namun jatuh diatas pangkuan lelaki tinggi kurus. Sambil terbelalak mata, keduanya serempak bilang.
“Valdo!!!/Vani!!!”
Keduanya terbahak, Valdo membantu Vani berdiri, kembang apinya masih utuh.
“Kamu gak apa-apa kan?”
“Ng’gak kok!! Nich lihat gakda yang lecet kan!he”
Vani menunjukkan giginya sambil memperlihatkan kedua tangannya yang dalam keadaan baik tanpa terluka sedikit pun.
By the way, kenapa ada acara ngebagiin kembang api segala?? Terus kenapa ini remang-remang gini gak ada cahaya lampu??”
Valdo meliuk-liukan kepalanya sambil melihat keadaan di sekitarnya.
“Kali ini kita mau bikin acara yang beda.. Natural tapi agak bereuforia! Ya itung-itung kita merasa bangga dengan alam semesta..”
Cool… Mau dibantu ngebagiin kembang apinya?”
“Owh gak usah – gak usah, aku bias sendiri kok! Nikmati aja malam ini. Aku pergi dulu ya! See yaa..!!”
Valdo memasang satu senyum, sambil mengikuti arah bayangan perempuan kembang api yang semakin lenyap.
“Hhhmmmm……Anak-anak sekalas pada kemana sich?Kok gak kelihatan??”
Valdo bergumam, beberapa kembang api yang digenggamnya nampak begitu dingin. Suasana dibalik keremangan itu semakin hangat karena semakin banyak orang yang datang. Mata Valdo menuju ke arah belakang gedung FKIP, ada sesuatu yang mengganggunya. Ia melihat seorang perempuan berjalan gontai sambil tertunduk lesu. Dengan penasaran, Valdo mengikuti perempuan itu, langkahnya terhenti di sebuah tempat yang begitu familiar, tempat dirinya duduk santai, menikmati suasana kampus tanpa gangguan orang.
Perempuan itu duduk di kursi kayu, matanya menerawang melihat sebuah tempat yang tak jauh dari keberadaannya.
“Kamu kok tega… Apa artinya hubungan kita yang telah begitu lama??”
Isakan terdengar di sudut pendengaran Valdo, lelaki berjaket kulit itu mengamati baik-baik ke arah perempuan berambut panjang dengan jeans biru dan dress putih yang dikenakannya.
“Perempuan itu bukankah yang kemarin siang?? Aduh…gara-gara ngantuk kemaren jadi gak inget wajahnya..Itu kan saputangan gue??Bener!! Itu memang dia..!!”
Meskipun ragu, Valdo memberanikan diri mendekatkan dirinya.
“Hidup memang tak selalu seperti apa yang kita inginkan..”
Perempuan itu tersentak ketika menyadari ada seseorang dibelakangnya, ia sibuk menepis air mata yang tak sengaja telah membasahi pipinya. Valdo kemudian duduk disamping perempuan manis itu. Vina mencoba mengamati sosok yang berada disampingnya meskipun cahaya temaram menyelimuti. Masih tidak terlalu jelas.
“Sudah punya kembang api?”
Vina menoleh dan mendapati lelaki itu masih dalam pandangan lurusnya.
“MMmmm… aku belum punya”
“Coba lihat!!”
Valdo menunjuk ke arah langit, panorama supermoon begitu menakjubkan, bulan memantulkan cahaya yang lebih terang dari biasanya, ukurannya juga lebih besar dari biasanya.
“Wooww…indah banget…Baru kali ini mendapati malam seindah ini..”
“Kau bohong!”
“Apa??”
Valdo tak bergeming, ia mengambil kembang api dan menyulutnya dengan api. Benda yang ia pegang mengeluarkan gemercik api yang sangat khas, cukup untuk menerangi jarak yang tak jauh.
“Kamu yang kemarin kan??”
Perempuan yang perlahan kembali tenang tanpa isakan tangis itu menangkap wajah lelaki yang ada disampingnya.
“Nama kamu Valdo kan!”
“Kenapa kamu bisa tahu? Perasaan kemarin aku gak ngenalin diri..”
 “Ahh..itu waktu kemarin kamu pergi, ada seseorang yang memanggil kamu dengan sebutan itu kan!”
“Akh…iya benar..”
“Ini!”
Perempuan manis itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Terima kasih untuk saputangannya!”
“Owh..gak usah dikembalikan, sepertinya kamu masih membutuhkan itu!”
Valdo berdiri dengan senyuman yang masih menggantung di wajahnya, ia mengulurkan tangan dan memberikan kembang api yang tengah bergembira. Tanpa sepatah kata dan tanpa bertatap mata lelaki berjaket kulit itu pergi. Vina mengamati baik-baik arah lelaki itu pergi yang menghilang ditelan keremangan. Ada sesuatu yang masih membingungkannya, ada begitu banyak pertanyaan yang menyelimuti pikirannya, dan itu serasa aneh.
“Jahat sekali….sama sekali dia tidak melihat wajah aku…tapi….. dia baik..”
Hari-hari telah berlalu, desak tangis mulai mereda, kini tergantikan dengan sesuatu yang nampak berbeda, rasa penasaran masih menggeluti pikiran perempuan feminim yang sejak tadi mondar-mandir di depan kursi kayu yang terletak di belakang gedung FKIP dan bersebarangan dengan ruang kuliah Fakultas Pertanian. Hampir setiap hari setelah kejadian di malam itu berlalu, Vina meluangkan waktunya setelah pulang kuliah untuk datang dan berdiam diri di tempat yang sejuk itu, entah kenapa seperti ada sesuatu yang menariknya kesana. Namun akhir-akhir ini lelaki yang ingin ditemuinya itu tak kunjung tiba.
Di tempat lain seekor serangga yang unik tengah memakan daun hijau yang masih segar, serangga itu tak henti memotong-motong benda berklorofil itu dengan potongan yang tak beraturan. Sementara seorang lelaki berjaket hitam dan bertopi itu berbangga diri karena berhasil mendapatkan gambar terbaiknya hari ini setelah memotret serangga itu. Vina yang sedari tadi mondar-mandir mengalihkan perhatiannya ketika reporter kampus itu melewati ujung jalan tak jauh dari keberadaannya. Ia tahu betul siapa lelaki yang dihampirinya. Prezky Camiola, mahasiswa FKIP tingkat 2 Prodi Pendidikan Biologi, Vina mengetahui semua tentang dia dari kakaknya sendiri yang merupakan teman sekelasnya.
Dengan agak canggung Vina menyapa lelaki yang sedang berjalan dengan langkah berirama itu, lelaki itu terhenti dan melepaskan kamera dari tangannya, dan dibiarkan menggantung di depan dadanya karena telah dilingkari tali. Tanpa basa-basi Prezky yang memang mudah bergaul itu langsung mengetahui identitas perempuan yang berada dengannya kali ini, meskipun baru pertama berjumpa namun Prezky tak tanggung-tanggung untuk mengajak lawan bicaranya ngobrol dan mengunjungi café yang berada tak jauh dari lingkungan kampus.
Sejak pertemuan yang datang tanpa sengaja itu, Vina kini sedikit bisa merasakan ada pencerahan dan dorongan dari orang yang kini dekat dengannya, kehadiran orang baru yang setidaknya dapat mengobati rasa luka kemarin hari yang sempat membuat dirinya putus asa. Namun semua terasa abu, terkadang rasa penasarannya tumbuh kembali ketika saputangan biru yang menemaninya menangis semalam suntuk di hari yang hitam itu menyapanya disudut cermin.
“Valdo…..”
®®®
“Maaf Mas..Ini barangnya jatuh!”
Valdo menoleh ke belakang, seorang lelaki berperawakan tinggi kurus mengulurkan sebuah saputangan yang terjatuh dari tas tanpa sepengetahuannya. Kata terima kasih terlontar dari mulut lelaki yang kini tengah menikmati perjalananan di sebuah bis umum. Kain putih bersih yang digenggamnya mencoba memutar ingatan mengenai keberadaan barang yang bukan miliknya itu.
“Kain ini?? Kapan aku pernah menerimanya?? Apakah ada seseorang yang pernah memberikannya kepadaku??”
Ingatannya masih terus berputar-putar, namun sangat disayangkan ia benar-benar lupa. Bis telah sampai di depan kampus, Valdo menghentikan kendaraan yang biasa ia tumpangi dari rumahnya. Meskipun mempunyai kendaraan pribadi namun ia lebih senang menggunakan kendaraan umum kemana pun ia pergi. Kedatangannya di kampus Universitas Siliwangi itu serasa berbeda, kampus yang sempat ditinggalkannya selama satu minggu itu. Kegiatan Praktek Kuliah Lapangan ke luar kota sempat menjadi alasan dirinya dan teman-teman satu progam studinya tidak mengunjungi kampus.
Secara tidak sengaja saat itu Valdo memilih jalan belakang untuk sampai ke ruang kuliahnya, melewati beberapa hamparan rumput dan tanaman hijau yang sangat terawat. Seketika saat Valdo berjalan dengan santai, ia melihat kaleng minuman soda yang tergeletak begitu saja di tengah jalan.
“Sembarangan aja nich buang sampah!”
Dengan membidik kaleng minuman soda untuk memasukannya ke dalam kotak sampah, Valdo mengambil ancang-ancang dan..
“Bletakk!!! AAAWWW….”
Tendangannya melenceng, kaleng minuman soda itu meluncur ke arah yang lain dan menghantam kepala seorang perempuan berjubah putih yang sedang mengamati beberapa tanaman.
“Siapa sich??Sembarangan aja!!”
Perempuan itu berdiri, dan mencari-cari orang yang telah menendang kaleng soda itu hingga mengenai kepalanya. Tak ada siapa-siapa, perempuan itu hanya mendengus kesal dan melemparkan kembali kaleng tersebut ke arah pinggir pohon besar yang berada tak jauh dari dirinya.
“Bletakk!!!WADAWWW…”
Valdo meringis kesakitan, kaleng soda yang dilemparkan perempuan itu tak hanya membuat kepalanya sakit, namun juga membuat persembunyiannya itu sia-sia. Keduanya tertangkap basah, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut mereka, mereka hanya saling berpandangan dan menyadari bahwa keduanya sudah tidak asing lagi.
“Lagi-lagi kita bertemu pada saat yang aneh..”
“Haha..iya nich..ekh maaf yach, aku gak sengaja barusan..”
“Owh, gak apa-apa aku juga minta maaf dan ngelemparin kaleng soda ini ma kamu.. Ekh, kamu masih nyimpen saputangan dari aku??”
Vani memperhatikan kain putih yang ada di tangan kanan Valdo.
“Kain ini?? Owh iya.. Waktu aku pertama kali bertemu dengan gadis ini di depan ruang kuliah..”
“Heii…kok malah melamun?”
Perempuan berambut pendek itu melambai-lambaikan tangannya ke arah wajah Valdo.
“Ahh..iya tentunya donk!! Maaf aku gak sempat ngembaliinnya ke kamu, ini kamu ambil aja sekarang!”
Valdo mengulurkan tangannya.
“Owh gak usah..buat kamu aja..ya itung-itung tanda perkenalan kita aja!”
Angin yang diam-diam bergerak mengikuti alur tubuh lelaki itu seakan membelainya perlahan.
“Okay kalo githu! Maaf aku harus pergi sekarang, sekarang waktunya aku masuk kuliah!”
“Owh iya..silahkan..mudah-mudahan kita bisa bertemu kembali ya!”
Valdo pun berlalu dengan alunan senyuman dari bibir Vani, senyum yang membuat nafas seakan berhenti, dan dunia seolah berhenti berputar. Kain putih yang digenggamnya diangkatnya perlahan kemudian dibuat beberapa lipatan dan diikatkan pada pergelangan tangannya.
“Aku gak yakin apa ini namanya?? Tapi apakah ini yang dinamakan cinta? Perasaan suka terhadap seseorang untuk pertama kalinya??”
Perkuliahan pun dimulai, kali ini Valdo menempatkan dirinya di tempat duduk paling belakang, pikirannya tidak fokus pada apa yang disampaikan dosen Ilmu Sosial Budaya Dasar itu, namun lebih fokus terhadap apa yang baru saja terjadi.
“Vani…bener-bener funny…”
Lelaki yang hobi banget main bola basket itu senyum-senyum sendiri, beberapa teman sekelas yang duduk disekitarnya memperhatikan gerak-gerik aneh yang terjadi. Meskipun Valdo mengetahui dirinya sedang diperhatikan, namun ia tetap acuh dan kembali berimajinasi lewat pikirannya yang sedang dilanda asmara.
®®®
“Prez! Ini siapa?”
Revina yang sedang asyik melihat hasil potretan Prezky di kameranya bertanya.
“Mana coba lihat?”
Prezky yang sedang membenarkan tali sepatunya mendongakan wajahnya.
“Owh itu teman SMA aku! Dia juga kuliah di kampus yang sama dengan kita!”
“Ini Valdo kan!”
“Revina mempertajam penglihatannya. Foto seorang laki-laki yang sedang bermain basket dilihatnya. Prezky membenarkan posisi duduknya.”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
®®®
Kertas kecil yang ada digenggaman Valdo lagi-lagi meminta untuk dilihat, alamat yang tertera didalamnya merupakan sebuah alamat rumah perempuan yang akhir-akhir ini sering mengganggu pikirannya.
“Ting-tong!!”
Bel di sebuah rumah minimalis yang sangat rapi itu berbunyi, hentakan kaki dari dalam rumah terdengar samar dan semakin lama semakin terdengar dengan jelas. Pintu rumah dibuka, perempuan berambut panjang dengan bentuk wajah oval dan bermata lentik itu terkesiap melihat siapa yang datang saat itu.
“Valdo??”
“Ini Vani kan??Tapi kok sepertinya ada yang beda ya..!!”
Lelaki dengan jaket basket berwarna hitam merah itu memandangi perempuan yang kini ada di depannya, keningnya berkerut melihat perubahan yang dirasakanya. Revina masih terpaku, angan-angannya terbang membawa kejadian sekaligus kehadiran orang yang selalu datang disaat dirinya lemah. Pertama saat dirinya dicampakan, dan kedua saat supermoon night yang terasa sepi.
“Vani??Mungkinkah yang dia maksud Revani kakakku??”
“Hallo??”
Valdo mengibas-ngibaskan tangannya ke pandangan perempuan yang sedang dipandanginya.
“Akh…iya..iya..benar aku Vani, mungkin perasaan kamu aja yang membuat kamu beda melihat aku..”
“Mmm..mungkin juga, aku gak diajak masuk nich??”
Revina terlihat bingung, gerak-geriknya tak karuan.
“Aduh..maaf aku jadi salah tingkah gini, ayo silahkan masuk!”
“Gawat….gawat…ada apa dengan aku?? Malah ngebiarin Valdo masuk lagi….”
“Mmm mau mmm minum apa??”
“Kamu kenapa jadi aneh githu sich? Gak seperti biasanya.. Apa aja boleh dech..”
“Haha..mmm maaf..”
Revina berlalu dengan langkahnya yang agak gelisah.
“Aneh…ada apa dengan dia ya??..hhmmm”
®®®
Kursi kecil dibawah sorot lampu berwana jingga menimbulkan bayangan-bayangan hitam di sekitarnya, langit yang cerah di malam itu mestinya menjadi perlindungan dan pemberi kesan nyaman bagi siapa saja yang tengah menikmati saat-saat seperti itu. Namun tidak untuk perempuan itu, perempuan yang sudah lima belas menit duduk terpaku di atas kursi taman kota. Dari cahaya matanya mengisyaratkan dirinya tengah dilanda kerisauan yang begitu mendalam.
“Apa yang harus aku lakukan?? Sejak pertama kali bertemu dengan Valdo entah apa yang kurasakan? Tanpa sadar aku selalu menantinya, di bangku belakang kampus itu. Aku terkadang ingin s’lalu melihatnya walaupun sebentar. Tapi salahkah aku?? Jika selama ini aku terus berpura-pura menjadi orang yang seolah-olah dikenalnya.”
“Hhhhhuuuuuuuuuffffffffffftttttttttttttt………..!!!!!!!!!!”
(di waktu bersamaan)
“Prez!”
“Hhmm!”
“Bagi donk! Loe pelit amat!”
Prezky berjalan gontai mengitari rumput-rumput yang bersih dan nampak berkilatan karena gerimis yang datang pada waktu yang lalu. Pop corn di tangannya perlahan menyusut, jagung yang berubah wujud itu adalah makanan favorit kedua lelaki yang setiap malam Rabu selalu datang ke taman kota untuk sekedar jalan-jalan. Tinggal beberapa langkah lagi bagi mereka berdua untuk sampai di sebuah bangku yang muat untuk berempat itu.
“Kayanya gue kenal ma cewek yang duduk di bangku itu”
Ujar Prezky sambil mengunyah pop corn. Valdo memiringkan wajahnya, sepertinya dirinya juga sudah tidak asing lagi kepada perempuan yang sedang duduk termenung dengan jaket sweater abunya.
“Ssssttt….jangan berisik Do! Kita kerjain temen gue yang satu ini…!”
“Prezky kenal juga ma Vani??”
Dengan langkah seorang penguntit Prezky berjalan, kupluk jaket yang menggantung di atas punggunggnya kini dikenakannya.
“Pegangin Do!”
Valdo hanya menuruti saja apa yang dikatakan teman dekatnya itu.
“1..2..3..hap….”
Dengan sigap Prezky membungkam mulut seorang perempuan dari arah belakang, sontak Vina panic dan mencoba berteriak-teriak minta tolong meskipun usahanya tidak berhasil.
“Jhahaha…..Vinaaaaaa!!!!!!”
Prezky melompat dengan cepat ke depan Vina, layaknya orang member kejutan.
“Prezky!!!!!!!Kamu bikin orang jantungan aja!!”
Vina bangkit dari duduknya dan memukul-mukul lengan lelaki yang telah membuatnya kaget setengah mati.
“Jhahaha…ampun…ampun…udah…udah…Do sini gue kenalin!”
Vina berhenti memukul, dan baru menyadari bahwa ada orang lain selain Prezky yang kini bersamanya. Vina menoleh dan mendapati sosok yang sama sekali sudah tidak asing. Degup jantungnya kian berdetak cepat, aliran darahnya serasa memanas.
“Valdo..”
Lelaki kurus tinggi itu terdiam, di dalam benaknya terdapat beberapa keganjilan dan kebingungan.
“Lho??Kamu udah kenal ma Valdo Vin?? Wakh baguslah kalo githu.. Ekh..! Do.. Valdo..loe kenapa??”
Secara bergantian Prezky memandangi kedua orang yang kini sedang terdiam dan saling bertatap muka itu.
“Vina….!!!!Vin…..!!!Kamu dimana??”
Tiba-tiba seorang perempuan dengan wajah yang tidak jauh beda datang menghampiri.
“Wakh, gak bilang nich datang kesininya rame-rame…”
Valdo terkesima, berulang kali ia menggerak-gerakan kedua bola matanya untuk melihat kedua perempuan yang membingungkannya. Giginya gemeretak, pop corn yang berada di genggamannya dibantingkan keras-keras sampai berhamburan di atas rerumputan dan berlalu dengan mengambil langkah lebar untuk meninggalkan tempat itu. Isak tangis terdengar, Vina merobohkan dirinya, diatas rerumputan hijau itu ia menumpahkan air mata. Vani dan Prezky masih tak mengerti dengan apa yang terjadi, mereka hanya saling pandang tanpa mengatakan apa-apa.
®®®
Seisi ruangan gelap, gorden kamarnya tak kunjung untuk ia buka. Matahari yang sudah seharusnya muncul menembus jendela kaca, ia sembunyikan. Tak ada suara, sesak, hampa, guratan hitam yang menggantung dibawah mata perempuan bermata lentik itu semakin jelas terlihat. Sejak semalam Revina mengunci sendiri di dalam kamarnya, dan hari ini ketika seharusnya ia pergi kuliah, tak dipedulikannya. Revani yang sudah sedari tadi mengetuk-ngetuk pintu kamar adiknya mulai khawatir, tak ada suara orang yang menyahut, nampak membisu.
“Vina…buka pintunya donk…!! Kamu baik-baik aja kan??”
“Dari malam sampai sekarang kakak mengkhawatirkan kamu, jadi kakak mohon buka pintunya..!”
“Aduh apa yang harus aku lakukan?? Papa mama udah pada kerja. Apa sebaiknya aku hubungi Valdo aja ya..??”
Vani mengambil handphone di saku celananya, mencoba mencari sebuah nama yang terakhir disimpannya.
“Hallo?? Ini Valdo ya.. Do aku mohon, kamu datang kesini sekarang juga ya! Aku khawatir banget dengan Vina, aku takut dia kenapa-kenapa..”
…………………….
“Disini gak ada siapa-siapa soalnya..makasih ya sebelumnya..”
Tidak butuh waktu yang lama Valdo pun datang, Vani yang saat itu tengah mondar-mandir di depan rumahnya segera menghampiri Valdo yang dilihatnya dari balik pagar.
“Syukurlah kamu cepet datang, ayo ikut aku!”
Mereka berdua pun menaiki tangga untuk menuju lantai atas dimana Vina berada. Vani dan Valdo hanya saling berpandangan, perempuan yang menggunakan pakaian putih berenda itu hanya memberi isyarat ketika keduanya sudah sampai di mulut pintu. Valdo mengangkat tangan kanannya dan mengetuk pintu.
“Vin…ini aku Valdo..kamu dengar aku kan!!”
Berulang kali Valdo mengetuk dan memanggil, kekhawatiran keduanya semakin jelas terlihat.
“Gak kedengaran apa-apa Van di dalam, apa sebaiknya aku dobrak aja?”
Dengan persetujuan saudara kembar perempuan yang sedang mengurung diri di kamar itu, Valdo segera mengambil tindakan, ia mencoba menubruk-nubrukan tubuhnya dengan tumpuan di lengannya. Usahanya tak memberikan hasil, pintu kayu yang tertutup rapat itu terlalu kuat menahan dobrakan keras sekalipun. Nafas terengah-engah pun mulai Valdo rasakan dalam dirinya.
Ketika Valdo mengambil ancang-ancang untuk memberikan hantaman lagi, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya. Dengan wajah pucat dan kusut Vina membuka kunci secara perlahan.
“Vina!! Syukurlah kamu tidak apa-apa!! Kakak takut terjadi sesuatu sama kamu!”
“Aku gak apa-apa kak!”
Suara berat perempuan yang masih menggunakan pakaian yang sama dengan malam kemarin itu membuat Valdo bergetar.
“Valdo, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berpura-pura menjadi orang yang kamu sayangi selama ini. Aku hanya..hanya ingin dekat denganmu saja.”
Setelah melerai pelukan saudara kembarnya itu Vina beralih dengan menatap Valdo baik-baik lalu tersenyum.
“Kenapa??Kenapa kamu ingin dekat denganku?? Dan kenapa kamu harus berpura-pura??”
“Semua itu terjadi begitu saja. Kamu selalu datang disaat aku benar-benar terpuruk. Kamu memberi semangat baru dalam hidupku Do! Mungkin kamu gak percaya dengan apa yang aku katakan, tapi itu benar.”
Valdo masih bergeming, ia mengharapkan penjelasan yang lebih banyak dari perempuan yang sedang berterus terang kepadanya.
“Aku menyukaimu Do!”
Isak tangis mulai terdengar kembali, Vani yang hanya menyaksikan kejadian diluar dugaannya itu mengamati dan menyimak baik-baik setiap kata yang dilontarkan oleh adiknya itu.
“Tapi aku sadar, yang kamu sayangi selama ini bukanlah aku, bukanlah Vani sebagai Vina, tapi Vani kakakku….”
Vina mengambil tangan kakaknya dan meletakannya di atas cengkraman Valdo.
“Inilah yang selama ini kamu tunggu Do! Ini Vani!”
®®®
“Revina…Revani…dan Revaldo.. Jhaha cinta segitiga yang sungguh menarik!”
“Apaan loe Prez! Nyindir mulu kerjaan loe!”
Bola basket yang dipegang lelaki bernomor punggung 23 itu dilemparkan ke arah lelaki bertopi yang sedang sibuk mengambil gambar dengan kameranya. Sayup-sayup terdengar suara perempuan memanggil dirinya dan teman dekatnya itu.
“Nakh kebetulan kalian dateng! Jadi gimana nich Do?? Mau pilih yang mana loe??”
Valdo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sejurus kemudian ia mengambil bola yang menggelinding ke arahnya. Tanpa mempedulikan pertanyaan Prezky, Valdo memainkan bola dan mencoba melakukan beberapa shoot.
“Gimana nich Do??”
Melihat temannya yang malah asyik bermain basket, Prezky menaikan nada bicaranya.
“Nakh loe sendiri, apa loe masih mau mengubur perasaan yang udah loe bangun selama ini??”
“Perasaan apa yang loe maksud??”
“Boleh gue minjem kamera loe!”
Prezky mengernyitkan kening namun tak banyak komentar.
“Vani sini bentar dech! Coba lihat ini!”
“Owh My God!!!! Photo-photo Revani, rupanya ia tahu!”
Dengan senyuman hangatnya yang mengembang, Vina dapat melihat jelas Prezky dan kakaknya saling berebut kamera. Mengenai Revaldo?? Jelas-jelas ia tahu, lelaki kurus tinggi itu tengah tersenyum simpul kepadanya.
®®®

Comments

Popular posts from this blog

7 Unsur Budaya Desa Golat Kecamatan Panumbangan Kabupaten Ciamis

Karakteristik budaya (meliputi tujuh unsur kebudayaan) masyarakat di Dusun Golat Tonggoh, Desa Golat, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis. Dalam ilmu sosiologi, dimanapun kita berada, baik itu di lingkungan rumah maupun ketika kita melakukan kunjungan ke luar daerah, ke luar kota, bahkan sampai ke luar negeri, kita akan selalu menemukan tujuh unsur  ke budaya an   dalam masyarakat. Ketujuh hal ini, oleh Clyde Kluckhohn dalam bukunya yang berjudul Universal Catagories of Culture   (dalam Gazalba, 1989: 10), disebut sebagai   tujuh unsur kebudayaan   yang bersifat universal ( cultural universals ). Artinya, ketujuh unsur ini akan selalu kita temukan dalam setiap kebudayaan atau masyarakat di dunia. Unsur-unsur ini merupakan perwujudan   usaha   manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara eksistensi diri dan kelompoknya. Adapun yang menjadi karakteristik budaya di Dusun Golat Tonggoh adalah sebagai berikut : (1) Sistem religi dan upacara keagamaan. Kepercayaan m

Samakah Beban Kita??

Cucu Sudiana 2 Desember 2012 Suara malam kembali berdendang Di tumpukan batu-batu itu mereka bersembunyi Musim penghujan yang telah menyapa tanah selama berminggu-minggu masih setia mengalirkan keprihatinannya Naluri manusia yang berubah-ubah juga emosi yang meluap-luap tidak memberikan keuntungan yang berarti Apakah masih ada yang berkenan dengannya Seekor makhluk tanah yang populasinya mulai menurun akibat keegoisan manusia Ataukah memang suaranya tak senyaring dahulu? Tiada lagi memberi kehangatan bagi hamba Tuhan yang terlambat pulang Jenis makanan seperti apakah yang mereka telan setiap hari? Lalu cairan seperti apakah yang akan melanjutkan hidupnya? Pernahkah ia mengeluh? Tentang kemarau kemarin yang panjang.. Tentang penghujan yang memberikan banjir terhadap urat nadi Negara Kupikir mereka dapat terbang lepas ke angkasa Laksana kunang-kunang dan serangga lainnya Hidup tanpa beban dan hidup di dalam nadirnya Maka.. disaat bait hujan mulai

MATA-MATA KECIL (PART 3/END)

“Hanna..! Yohanna..! Cepetan bangun…! Kamu harus temenin aku!” Hanna mengucek matanya, pandangannya yang masih buram perlahan-lahan kembali jelas, ditangkapnya raut wajahnya yang pucat pasi. “Udah waktunya ya?” Hanna yang sudah menyanggupi permintaan temannya itu segera merapikan diri. Sapu usang dan perlengkapan lainnya yang mungkin dibutuhkan sudah lengkap dibawa. Perjalanan dari rumah Vallen menuju kampus terasa jauh dan lama, jalanan yang lengang menimbulakn suasana yang tidak mengenakan. “Kamu yakin Len? Sudah nyiapin mental kamu?” Bunyi hembusan yang cukup keras terdengar. “Aku siap dengan semua risiko yang mungkin datang..” “Baguslah kalo begitu..” Pintu gerbang kampus itu terlihat, cukup berjalan beberapa menit saja mereka berdua telah sampai di ruang UKM Teater. Ruangan itu tidak tampak seperti biasanya, base camp yang membesarkan nama mereka di kampus kini menyimpan beribu pertanyaan. “KLIK..!” Pintu ruangan itu terbuka, lampu terang yang menyinari selu