Penulis : Cucu Sudiana
Tgl Penulisan : Mei 2012
Daun kering yang
terhampar begitu banyaknya tersapu oleh jejak angin yang mengintai ruang-ruang
kosong di hadapan kerikil yang membisu. Suasana yang lengang menyihir pikiran
untuk diam sejenak di kursi kayu yang tertanam di bawah pohon yang daunnya
terus menggerutu karena udara yang tak mau diam.
“Ssrk… ssrk…!”
Terdengar gerak
langkah yang menginjak dedaunan tak bernyawa, semakin dekat dan semakin jelas dua
bola matanya menatap halaman kecil itu.
“Aah.. pendinginan
otak sambil memejamkan mata sejenak!”
Mata ngantuk itu
tertutup, kepalanya bertumpu pada kedua tangan yang disilangkan, setumpuk tugas
sejenak ia palingkan dari otaknya.
“Sudah kubilang,
kemarin aku ada urusan lain!!”
“Udah
jangan banyak alesan, aku tahu itu cuma mengada-ada!! Aku lihat dengan mata
kepalaku sendiri, kamu jalan sama orang lain di mall, waktu itu aku..”
“STOP!!
Aku ng’gak mau lagi denger ceritamu, kalau kamu sudah ng’gak percaya lagi sama
aku, itu artinya hari ini juga KITA PUTUS!!”
Suara-suara
keributan yang terjadi tidak jauh dari halaman kecil yang dipenuhi rumput segar
itu terdengar begitu jelas. Memekakkan telinga ketika suara lelaki itu
membentak makhluk tak berdaya dengan emosi yang meluap-luap. Mata yang sedikit
merah karena menahan rasa kantuk itu
terbuka, membangunkan raganya dan mendirikannya secara vertikal. Terlihat sosok
perempuan tengah duduk ditemani air matanya. Selang beberapa detik, lelaki yang
terlentang malas di kursi kayu tadi menapakkan kakinya di hadapan perempuan
yang tertunduk itu.
“Belajarlah
dari apa yang telah terjadi, ikuti kata hati, pergilah dari selatan jika
tujuanmu utara dan hapuslah tangismu jika ingin menatap esok yang lebih bahagia!”
Seulur tangan
dengan sapu tangan biru di atasnya disertai segurat senyum di wajah lelaki itu.
“Makasih yach..!”
Gadis yang bernama
lengkap Revina itu menegakkan mukanya dan melihat dengan pandangan kosong seorang
lelaki yang menyambutnya, kurus, kecil namun agak tinggi, matanya berkantung
dengan polet hitam dibawahnya, mengisyaratkan rasa kantuk yang menjadi-jadi,
dengan tersenyum simpul Revina mengambil
sapu tangan dan mengusap kedua sisi matanya.
“Valdo..!
Valdo..!”
Lelaki berjaket
dengan topi di kepalanya mencari-cari orang yang sebenarnya sedang berhadapan dengan
perempuan yang masih terisak.
“Aku harus pergi
sekarang..”
Tanpa menunggu
Revina menyahut, Valdo sudah bergegas berjalan ke arah lelaki berjaket itu. Dan
keduanya pergi dan menghilang dibalik tembok-tembok yang berdiri dengan
lantangnya. Suasana kembali lengang, Revina duduk bertemankan syahdunya suara
angin, ranting dan dedaunan yang berserakan menggambarkan hatinya yang sedang
berantakan. Mata yang sembab dan air mata yang perlahan menyusut menciptakan
panorama biru di tengah teriknya matahari.
®®®
Ruang di sudut
kampus Universitas Siliwangi itu menjelma menjadi gudang ilmu bagi para
mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi, ada aktivitas yang mengakibatkan
mata semua mahasiswa terpusat, mengunci telinga untuk setia mendengarkan apa
yang diungkapkan seorang dosen yang berkepribadian, pola mengajar yang
brilliant dan mempunyai budi bahasa yang baik. Konsep Hidrologi dipaparkan
olehnya sedemikian menariknya. 90 menit berlalu, riuhnya pertanyaan dan
penjelasan terhenti.
“OK..! Mata kuliah
bapak hari ini cukup sekian. Selamat siang..!”
Seiring dosen
keluar, para mahasiswa merapikan tasnya dan hendak mengikutinya untuk keluar
dari ruangan. Valdo diam sejenak ada catatan penting yang lagi-lagi belum ia
selesaikan, untuk mengingat apa yang diutarakan dosen barusan, perlu
konsentrasi penuh untuk dapat mengambil hal-hal yang perlu diabadikan, goresan
tinta hitam memenuhi kertas putih, tanda titik keluar ketika Valdo menekan
secara keras di ujung huruf terakhirnya hingga meninggalkan bekas menjorok di
kertas itu.
Ada suara yang
tergesa-gesa, paduan bunyi sepatu di teras yang tak menentu. Valdo segera
keluar dan ketika mengeluarkan badannya dari ruangan….
“BRUKKSSS…!!!”
Dua tubuh
bertabrakan dan jatuh, terdengar suara gelas pipa yang hancur, menyisakan
kepingan kaca.
“Adukh.. mati
gue!”
Perempuan mungil
dengan rambut pendeknya memasang muka takut sekaligus sakit. Valdo yang dari
tadi bengong melihat wajah yang manis dibumbui rasa gelisah pada matanya
tersadar bahwa tangannya berdarah karena gelas pipa yang pecah, kepingannya
menempel pada telapak tangannya.
“Aww…!”
Valdo mulai merasa
perih dan darah terus keluar, seketika gadis mungil itu kaget melihat tangan
Valdo yang berlumuran darah.
“Ya
ampun.. sini-sini aku bersihkan! Aku minta maaf, aku tukh terburu-buru,
temen-temen pada keluar duluan, so.. ku ketinggalan dech!”
Perempuan mungil
itu meraih tangan Valdo, mengeluarkan air mineral dalam botol minuman yang
diambil dari tasnya , secara halus ia membasuh darah yang masih keluar dari
telapak tangan Valdo lalu mengikatkan saputangan agar darah tidak keluar lagi.
Tangan halusnya membius bibir Valdo untuk sejenak berdiam dan hanya memandangi
wajah mungil yang jaraknya hanya beberapa cm saja.
“Kamu anak Geografi yach!”
Kali
ini perempuan mungil itu menegakkan wajahnya dan memandangi Valdo.
“Lho,
kok kamu tahu?”
“Ya
iyalah, secara kamu kan baru aja keluar dari ruang kuliah Geografi!”
“Okh..!
YupZ bener banget. Hhmm oo iya siapa nama kamu?”
“Kenalin
nama aku Vani..!”
Sedikit
senyuman dengan mata lentik.
“Kamu
anak Bilologi yach..!”
“Ya
bener, hmm.. pasti lihat aku bawa-bawa gelas pipa yach!”
“Ng’gak
kok, aku tahu aja setelah lihat muka kamu..”
“Emanknya
kenapa dengan muka aku?”
Vani
mulai mengerutkan keningnya.
“Itu
tukh! Kayak yang diteori Darwin, jhaha..!”
Tawa
lepas Valdo begitu renyah di telinga.
“Wakh
dasar.. Awas yach! Ekh iya, gantian donk ku belum tahu nama kamu”
“Namaku
Rivaldo, boleh dipanggil Valdo aja.. Terus gimana nich?? Gelas pipa ini pasti
harus diganti kan!”
Valdo
mulai menaikan alisnya.
“Oo..
ya udah dech, itu urusan aku, lagian gelas pipa ini pecah gara-gara aku juga
yang ceroboh, apalagi sampai lihat tangan kamu yang berdarah, dukh sorry banget
yach..!”
Vani merapatkan
kedua telapak tangannya dan menempelkan telunjuknya di bawah dagu sebagai
pertanda permohonan maafnya. Valdo yang melihatnya hanya tersenyum sambil
menganggukan kepalanya, tangan kanannya sibuk membereskan pecahan kaca untuk
dibuang ke tempat yang aman, Vani menurunkan tangannya dan ikut merapikan
pecahan.
“Trriitt..!
Trriittt..!”
Isi dalam saku
celana Vani mengeluarkan bunyi panggilan. Vani mulai berhenti menggerakkan
tangannya di lantai dan berusaha meraih handphone-nya.
“Hallo..
ada apa Vin?”
“Ada
apa-ada apa..! Masih dimana sich? Lelet banget! Pokoknya cepetan yach! Udah
laper nich pengen pulang! Tut..tut..tut……..”
Telepon
berakhir, dan Vani memasukkan handphone-nya
kembali ke dalam saku celananya.
“Adukh
Valdo maaf yach! Aku dah ditungguin di parkiran sama adik aku..”
Valdo
beranjak dari lantai dan membawa serpihan kaca dalam kantong kresek.
“Kalo
githu, kamu duluan aja, biar ini aku yang buang”
“Makasih
yach, sekali lagi maaf, tangan kamu sampe berdarah githu, ya udah, bye..”
Dengan langkah
terburu-buru Vani beranjak meninggalkan tempat dan menghilang di kejauhan,
suara langkah kaki menginjakkan tanah berangsur-angsur raib. Angin yang
berlarian kesana kemari masih tetap setia bercanda tawa bersama dedaunan.
Langit di sore itu memancarkan kehangatan bagi bumi, awan tipis yang mulai
memerah mengantarkan matahari untuk terlelap.
®®®
“Duk..duk..duk..jdak!!”
Bola basket
menghantam papan tanpa menyentuh ring. Bola kembali di tangan Valdo dan shoot bola pun masuk ring tanpa goresan,
hanya keranjang yang bergerak maju mundur. Tiga puluh menit lamanya Valdo
bergerak kesana kemari dan asyik memainkan bola, beberapa lemparan dunk yang ia pelajari di UKM Bola basket
diperagakan. Kaos hitam nomor 23 dibanjiri keringat, nafas pun mulai
terengah-engah! Ketika mata Valdo menerkam ring tiba-tiba…
“Jpret..!”
Kilauan blitch kamera menyilaukan mata dan bola
terhempas ke bawah. Seseorang datang dengan jaket dan topi di kepalanya, tangan
kirinya menenteng kamera digital dan tangan kanannya meraih bola lalu
melemparkan kembali ke arah Valdo.
“Ng’gak salah lagi
pasti loe Prezky!”
“Akh loe, tahu aja
ma orang keren!”
“Ya abis siapa
lagi? Pria berjaket, bertopi terus bawa-bawa kamera, so pasti loe!”
“Bisa aja
akh!he..”
Valdo beralih ke
pinggir lapangan, lampu sorot ke arah lapangan kini bersih tanpa bayangan.
Sebotol air mineral diteguk habis olehnya. Bunyi nafas yang berkejaran kembali
teratur. Prezky mengikutinya dan duduk di sebelah Valdo, matanya masih
menerawang melihat gambar-gambar di kameranya yang ia potret hari ini.
“Udah lama Prez?!”
Valdo menoleh
sambil mengelapkan handuk kecil ke wajahnya yang basah.
“Belom lama kok,
tadi kata si m’bok loe lagi latihan di lapangan basket, so gue langsung aja
nyamperin ke sini!”
Prezky
menghentikan jari-jarinya dan menurunkan kamera, ditolehnya tangan Valdo yang
berbalut perban.
“Tangan loe kenapa
Do?”
“Okh ini, tadi
sore waktu di kampus gue ng’gak sengaja bertabrakan ma cewek Biologi yang
kebetulan lagi bawa gelas pipa, tanpa sengaja gelasnya jatuh dan tangan gue
menimpanya..”
“O’oouww… ekh tapi
eloe enak yach, tabrakannya ma cewek! Jahaha…”
Keduanya tertawa
sekejap, Prezky menyimpan kameranya lalu meraih bola dan menggelindingkannya
menuju ring, Valdo berdiri dan kembali ke lapangan untuk berebut bola.
®®®
Tissu yang lusuh
berserakan di lantai kamar perempuan bermata lentik itu, wajahnya yang oval dan
rambut panjangnya yang selalu terurai sama sekali tidak menggambarkan sosok
perempuan yang sebenarnya lembut. Ia meraih beberapa foto dirinya bersama
seorang lelaki, air matanya semakin jelas keluar dan berjatuhan, namun seketika
ia menghentikan tangisannya dan mengambil ancang-ancang untuk merobek-robek
semua lembar foto yang sudah bertahun-tahun ia jaga dengan baik.
“Percuma..buat
apa kita hubungan bertahun-tahun?? Jika pada akhirnya kamu ng’gak lagi percaya
ma aku!!”
Sobekan kecil
kertas foto itu dihamburkan, hingga kini kamar yang serba pink itu nampak
seperti kapal pecah yang bersiap untuk karam.
“Hari
ini aku gak’kan pernah percaya lagi dengan makhluk yang namanya cowo!! Cowo
bisanya cuma nyakitin, mau menang sendiri dan gak pernah sekalipun ngerasain
apa yang kita rasain!!”
Perempuan yang
mengenakan kaos putih bertuliskan “Is
Time To Leave” itu kembali tertunduk, dan kembali larut dalam kepedihannya.
“Tok..tok..tok..tok..!!”
Pintu kamar yang
berada di sudut kamarnya memanggil.
“Waktunya makan
malam Vin, ayo kita turun ke bawah! Mama papa udah nungguin tukh!”
Terdengar saudara
kandungnya menyuruh dirinya untuk bergegas keluar, berkali-kali ia mengetuk
pintu tanpa ada sahutan.
“Vin..kamu gak
apa-apa kan? Coba buka pintunya! Kakak mau masuk..”
Perempuan bermata
lentik penyandang nama lengkap Revina itu perlahan membuka pintu yang sedari
tadi dkuncinya. Dan ketika saudara kandungnya dapat menangkap apa yang terjadi
ia langsung memeluk Vina. Ia tahu jika adiknya tengah patah hati, foto pujaan
hatinya yang lama menempel di dinding kamarnya kini tak lagi nampak, yang tersisa
hanya bekas kotor di dinding hasil sobekan tadi. Vina tak bereaksi ketika
kakaknya sendiri menanyakan apa yang telah terjadi kepada adik semata
wayangnya, ia mengunci mulutnya dan meskipun tanpa suara air matanya membasahi
pundak perempuan yang sedang memeluknya dengan erat.
“Kakak
ngerti..Vina gak usah berkecil hati ataupun membencinya..Vina harus membuka
mata dan lihat dunia yang begitu luas ini. Pepatah bijak mengatakan “Janganlah
engkau bersedih karena kehilangan dia, seharusnya dialah yang seharusnya sedih
karena kehilangan kamu” Vina harus tunjukkan itu, Vina gak boleh lemah!”
Vina semakin erat
memeluk kakaknya, tak ada seorang pun yang mampu meneduhkan hatinya yang sedang
kusut selain kakaknya sendiri.
®®®
Gelap,
namun tidak terlalu gelap, remang…
Terang,
namun tidak terlalu terang, remang…
Malam itu adalah
malam yang spesial, tak akan ditemui dalam malam-malam yang biasanya terlewati
begitu saja, bahkan tidak terjadi setiap tahun. Inilah yang dinamakan Supermoon, ketika bulan menjadi empat kali
lebih besar dari biasanya.
“Kembang
apinya..!! Kembang apinya..!!”
Seorang perempuan
berjubah merah terlihat tergesa-gesa sambil menyelundup diantara orang-orang,
perihal demikian seperti yang dilakukan Amanda Seyfried dalam film Red Riding Hood ketika seorang werewolf memburu dirinya. Ia terlihat
sibuk membagikan kembang api dari kantong yang dipegangnya. Semakin dekat ke
arah lelaki yang tengah melihatnya sejak tadi, kekurangan cahaya membuat lelaki
tinggi kurus itu susah membidik wajahnya, ditambah lagi kupluk jubah merah itu
menutupi sebagian wajahnya. Dari berlainan arah nampak seorang lelaki yang
menerobos kerumunan orang-orang, entah kenapa orang itu begitu terburu-buru,
dan oooppppzzzz….
“Brrruukkk!!!!!!!”
Tubuh lelaki itu
tanpa sadar menghantam lengan perempuan si kembang api, perempuan itu terhuyung
dan mau jatuh, sontak lelaki tinggi kurus itu menangkap tubuh perempuan
berjubah merah. Perempuan itu tak jatuh diatas tanah, namun jatuh diatas
pangkuan lelaki tinggi kurus. Sambil terbelalak mata, keduanya serempak bilang.
“Valdo!!!/Vani!!!”
Keduanya terbahak,
Valdo membantu Vani berdiri, kembang apinya masih utuh.
“Kamu gak apa-apa
kan?”
“Ng’gak kok!! Nich
lihat gakda yang lecet kan!he”
Vani menunjukkan
giginya sambil memperlihatkan kedua tangannya yang dalam keadaan baik tanpa
terluka sedikit pun.
“By the way, kenapa ada acara ngebagiin
kembang api segala?? Terus kenapa ini remang-remang gini gak ada cahaya
lampu??”
Valdo meliuk-liukan
kepalanya sambil melihat keadaan di sekitarnya.
“Kali ini kita mau
bikin acara yang beda.. Natural tapi agak bereuforia! Ya itung-itung kita
merasa bangga dengan alam semesta..”
“Cool… Mau dibantu ngebagiin kembang
apinya?”
“Owh gak usah –
gak usah, aku bias sendiri kok! Nikmati aja malam ini. Aku pergi dulu ya! See
yaa..!!”
Valdo memasang
satu senyum, sambil mengikuti arah bayangan perempuan kembang api yang semakin
lenyap.
“Hhhmmmm……Anak-anak
sekalas pada kemana sich?Kok gak kelihatan??”
Valdo bergumam,
beberapa kembang api yang digenggamnya nampak begitu dingin. Suasana dibalik
keremangan itu semakin hangat karena semakin banyak orang yang datang. Mata
Valdo menuju ke arah belakang gedung FKIP, ada sesuatu yang mengganggunya. Ia
melihat seorang perempuan berjalan gontai sambil tertunduk lesu. Dengan
penasaran, Valdo mengikuti perempuan itu, langkahnya terhenti di sebuah tempat
yang begitu familiar, tempat dirinya duduk santai, menikmati suasana kampus
tanpa gangguan orang.
Perempuan itu
duduk di kursi kayu, matanya menerawang melihat sebuah tempat yang tak jauh
dari keberadaannya.
“Kamu kok tega…
Apa artinya hubungan kita yang telah begitu lama??”
Isakan terdengar
di sudut pendengaran Valdo, lelaki berjaket kulit itu mengamati baik-baik ke
arah perempuan berambut panjang dengan jeans biru dan dress putih yang
dikenakannya.
“Perempuan
itu bukankah yang kemarin siang?? Aduh…gara-gara ngantuk kemaren jadi gak inget
wajahnya..Itu kan saputangan gue??Bener!! Itu memang dia..!!”
Meskipun ragu,
Valdo memberanikan diri mendekatkan dirinya.
“Hidup memang tak
selalu seperti apa yang kita inginkan..”
Perempuan itu
tersentak ketika menyadari ada seseorang dibelakangnya, ia sibuk menepis air
mata yang tak sengaja telah membasahi pipinya. Valdo kemudian duduk disamping
perempuan manis itu. Vina mencoba mengamati sosok yang berada disampingnya
meskipun cahaya temaram menyelimuti. Masih tidak terlalu jelas.
“Sudah punya
kembang api?”
Vina menoleh dan
mendapati lelaki itu masih dalam pandangan lurusnya.
“MMmmm… aku belum
punya”
“Coba lihat!!”
Valdo menunjuk ke
arah langit, panorama supermoon
begitu menakjubkan, bulan memantulkan cahaya yang lebih terang dari biasanya,
ukurannya juga lebih besar dari biasanya.
“Wooww…indah
banget…Baru kali ini mendapati malam seindah ini..”
“Kau bohong!”
“Apa??”
Valdo tak
bergeming, ia mengambil kembang api dan menyulutnya dengan api. Benda yang ia
pegang mengeluarkan gemercik api yang sangat khas, cukup untuk menerangi jarak
yang tak jauh.
“Kamu yang kemarin
kan??”
Perempuan yang
perlahan kembali tenang tanpa isakan tangis itu menangkap wajah lelaki yang ada
disampingnya.
“Nama kamu Valdo
kan!”
“Kenapa kamu bisa
tahu? Perasaan kemarin aku gak ngenalin diri..”
“Ahh..itu waktu kemarin kamu pergi, ada
seseorang yang memanggil kamu dengan sebutan itu kan!”
“Akh…iya benar..”
“Ini!”
Perempuan manis
itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Terima kasih
untuk saputangannya!”
“Owh..gak usah
dikembalikan, sepertinya kamu masih membutuhkan itu!”
Valdo berdiri
dengan senyuman yang masih menggantung di wajahnya, ia mengulurkan tangan dan
memberikan kembang api yang tengah bergembira. Tanpa sepatah kata dan tanpa
bertatap mata lelaki berjaket kulit itu pergi. Vina mengamati baik-baik arah
lelaki itu pergi yang menghilang ditelan keremangan. Ada sesuatu yang masih
membingungkannya, ada begitu banyak pertanyaan yang menyelimuti pikirannya, dan
itu serasa aneh.
“Jahat
sekali….sama sekali dia tidak melihat wajah aku…tapi….. dia baik..”
Hari-hari telah
berlalu, desak tangis mulai mereda, kini tergantikan dengan sesuatu yang nampak
berbeda, rasa penasaran masih menggeluti pikiran perempuan feminim yang sejak
tadi mondar-mandir di depan kursi kayu yang terletak di belakang gedung FKIP
dan bersebarangan dengan ruang kuliah Fakultas Pertanian. Hampir setiap hari
setelah kejadian di malam itu berlalu, Vina meluangkan waktunya setelah pulang
kuliah untuk datang dan berdiam diri di tempat yang sejuk itu, entah kenapa
seperti ada sesuatu yang menariknya kesana. Namun akhir-akhir ini lelaki yang
ingin ditemuinya itu tak kunjung tiba.
Di tempat lain seekor
serangga yang unik tengah memakan daun hijau yang masih segar, serangga itu tak
henti memotong-motong benda berklorofil itu dengan potongan yang tak beraturan.
Sementara seorang lelaki berjaket hitam dan bertopi itu berbangga diri karena
berhasil mendapatkan gambar terbaiknya hari ini setelah memotret serangga itu.
Vina yang sedari tadi mondar-mandir mengalihkan perhatiannya ketika reporter
kampus itu melewati ujung jalan tak jauh dari keberadaannya. Ia tahu betul
siapa lelaki yang dihampirinya. Prezky Camiola, mahasiswa FKIP tingkat 2 Prodi
Pendidikan Biologi, Vina mengetahui semua tentang dia dari kakaknya sendiri
yang merupakan teman sekelasnya.
Dengan agak
canggung Vina menyapa lelaki yang sedang berjalan dengan langkah berirama itu,
lelaki itu terhenti dan melepaskan kamera dari tangannya, dan dibiarkan
menggantung di depan dadanya karena telah dilingkari tali. Tanpa basa-basi
Prezky yang memang mudah bergaul itu langsung mengetahui identitas perempuan
yang berada dengannya kali ini, meskipun baru pertama berjumpa namun Prezky tak
tanggung-tanggung untuk mengajak lawan bicaranya ngobrol dan mengunjungi café
yang berada tak jauh dari lingkungan kampus.
Sejak pertemuan
yang datang tanpa sengaja itu, Vina kini sedikit bisa merasakan ada pencerahan
dan dorongan dari orang yang kini dekat dengannya, kehadiran orang baru yang
setidaknya dapat mengobati rasa luka kemarin hari yang sempat membuat dirinya
putus asa. Namun semua terasa abu, terkadang rasa penasarannya tumbuh kembali
ketika saputangan biru yang menemaninya menangis semalam suntuk di hari yang
hitam itu menyapanya disudut cermin.
“Valdo…..”
®®®
“Maaf Mas..Ini
barangnya jatuh!”
Valdo menoleh ke
belakang, seorang lelaki berperawakan tinggi kurus mengulurkan sebuah
saputangan yang terjatuh dari tas tanpa sepengetahuannya. Kata terima kasih
terlontar dari mulut lelaki yang kini tengah menikmati perjalananan di sebuah
bis umum. Kain putih bersih yang digenggamnya mencoba memutar ingatan mengenai
keberadaan barang yang bukan miliknya itu.
“Kain
ini?? Kapan aku pernah menerimanya?? Apakah ada seseorang yang pernah
memberikannya kepadaku??”
Ingatannya masih
terus berputar-putar, namun sangat disayangkan ia benar-benar lupa. Bis telah
sampai di depan kampus, Valdo menghentikan kendaraan yang biasa ia tumpangi
dari rumahnya. Meskipun mempunyai kendaraan pribadi namun ia lebih senang
menggunakan kendaraan umum kemana pun ia pergi. Kedatangannya di kampus
Universitas Siliwangi itu serasa berbeda, kampus yang sempat ditinggalkannya
selama satu minggu itu. Kegiatan Praktek Kuliah Lapangan ke luar kota sempat
menjadi alasan dirinya dan teman-teman satu progam studinya tidak mengunjungi
kampus.
Secara tidak
sengaja saat itu Valdo memilih jalan belakang untuk sampai ke ruang kuliahnya,
melewati beberapa hamparan rumput dan tanaman hijau yang sangat terawat.
Seketika saat Valdo berjalan dengan santai, ia melihat kaleng minuman soda yang
tergeletak begitu saja di tengah jalan.
“Sembarangan aja
nich buang sampah!”
Dengan membidik
kaleng minuman soda untuk memasukannya ke dalam kotak sampah, Valdo mengambil
ancang-ancang dan..
“Bletakk!!!
AAAWWW….”
Tendangannya
melenceng, kaleng minuman soda itu meluncur ke arah yang lain dan menghantam
kepala seorang perempuan berjubah putih yang sedang mengamati beberapa tanaman.
“Siapa
sich??Sembarangan aja!!”
Perempuan itu
berdiri, dan mencari-cari orang yang telah menendang kaleng soda itu hingga
mengenai kepalanya. Tak ada siapa-siapa, perempuan itu hanya mendengus kesal
dan melemparkan kembali kaleng tersebut ke arah pinggir pohon besar yang berada
tak jauh dari dirinya.
“Bletakk!!!WADAWWW…”
Valdo meringis
kesakitan, kaleng soda yang dilemparkan perempuan itu tak hanya membuat
kepalanya sakit, namun juga membuat persembunyiannya itu sia-sia. Keduanya
tertangkap basah, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut mereka,
mereka hanya saling berpandangan dan menyadari bahwa keduanya sudah tidak asing
lagi.
“Lagi-lagi kita
bertemu pada saat yang aneh..”
“Haha..iya
nich..ekh maaf yach, aku gak sengaja barusan..”
“Owh, gak apa-apa
aku juga minta maaf dan ngelemparin kaleng soda ini ma kamu.. Ekh, kamu masih
nyimpen saputangan dari aku??”
Vani memperhatikan
kain putih yang ada di tangan kanan Valdo.
“Kain
ini?? Owh iya.. Waktu aku pertama kali bertemu dengan gadis ini di depan ruang
kuliah..”
“Heii…kok malah melamun?”
Perempuan berambut
pendek itu melambai-lambaikan tangannya ke arah wajah Valdo.
“Ahh..iya tentunya
donk!! Maaf aku gak sempat ngembaliinnya ke kamu, ini kamu ambil aja sekarang!”
Valdo mengulurkan
tangannya.
“Owh gak usah..buat
kamu aja..ya itung-itung tanda perkenalan kita aja!”
Angin yang
diam-diam bergerak mengikuti alur tubuh lelaki itu seakan membelainya perlahan.
“Okay kalo githu!
Maaf aku harus pergi sekarang, sekarang waktunya aku masuk kuliah!”
“Owh iya..silahkan..mudah-mudahan
kita bisa bertemu kembali ya!”
Valdo pun berlalu
dengan alunan senyuman dari bibir Vani, senyum yang membuat nafas seakan
berhenti, dan dunia seolah berhenti berputar. Kain putih yang digenggamnya
diangkatnya perlahan kemudian dibuat beberapa lipatan dan diikatkan pada
pergelangan tangannya.
“Aku gak yakin apa
ini namanya?? Tapi apakah ini yang dinamakan cinta? Perasaan suka terhadap
seseorang untuk pertama kalinya??”
Perkuliahan pun
dimulai, kali ini Valdo menempatkan dirinya di tempat duduk paling belakang,
pikirannya tidak fokus pada apa yang disampaikan dosen Ilmu Sosial Budaya Dasar
itu, namun lebih fokus terhadap apa yang baru saja terjadi.
“Vani…bener-bener
funny…”
Lelaki yang hobi
banget main bola basket itu senyum-senyum sendiri, beberapa teman sekelas yang
duduk disekitarnya memperhatikan gerak-gerik aneh yang terjadi. Meskipun Valdo
mengetahui dirinya sedang diperhatikan, namun ia tetap acuh dan kembali
berimajinasi lewat pikirannya yang sedang dilanda asmara.
®®®
“Prez! Ini siapa?”
Revina yang sedang
asyik melihat hasil potretan Prezky di kameranya bertanya.
“Mana coba lihat?”
Prezky yang sedang
membenarkan tali sepatunya mendongakan wajahnya.
“Owh itu teman SMA
aku! Dia juga kuliah di kampus yang sama dengan kita!”
“Ini Valdo kan!”
“Revina
mempertajam penglihatannya. Foto seorang laki-laki yang sedang bermain basket
dilihatnya. Prezky membenarkan posisi duduknya.”
“Bagaimana kamu
bisa tahu?”
®®®
Kertas kecil yang
ada digenggaman Valdo lagi-lagi meminta untuk dilihat, alamat yang tertera
didalamnya merupakan sebuah alamat rumah perempuan yang akhir-akhir ini sering
mengganggu pikirannya.
“Ting-tong!!”
Bel di sebuah
rumah minimalis yang sangat rapi itu berbunyi, hentakan kaki dari dalam rumah
terdengar samar dan semakin lama semakin terdengar dengan jelas. Pintu rumah
dibuka, perempuan berambut panjang dengan bentuk wajah oval dan bermata lentik
itu terkesiap melihat siapa yang datang saat itu.
“Valdo??”
“Ini Vani
kan??Tapi kok sepertinya ada yang beda ya..!!”
Lelaki dengan jaket
basket berwarna hitam merah itu memandangi perempuan yang kini ada di depannya,
keningnya berkerut melihat perubahan yang dirasakanya. Revina masih terpaku,
angan-angannya terbang membawa kejadian sekaligus kehadiran orang yang selalu
datang disaat dirinya lemah. Pertama saat dirinya dicampakan, dan kedua saat supermoon night yang terasa sepi.
“Vani??Mungkinkah
yang dia maksud Revani kakakku??”
“Hallo??”
Valdo
mengibas-ngibaskan tangannya ke pandangan perempuan yang sedang dipandanginya.
“Akh…iya..iya..benar
aku Vani, mungkin perasaan kamu aja yang membuat kamu beda melihat aku..”
“Mmm..mungkin
juga, aku gak diajak masuk nich??”
Revina terlihat
bingung, gerak-geriknya tak karuan.
“Aduh..maaf aku
jadi salah tingkah gini, ayo silahkan masuk!”
“Gawat….gawat…ada
apa dengan aku?? Malah ngebiarin Valdo masuk lagi….”
“Mmm mau mmm minum
apa??”
“Kamu kenapa jadi
aneh githu sich? Gak seperti biasanya.. Apa aja boleh dech..”
“Haha..mmm maaf..”
Revina berlalu
dengan langkahnya yang agak gelisah.
“Aneh…ada apa
dengan dia ya??..hhmmm”
®®®
Kursi kecil dibawah
sorot lampu berwana jingga menimbulkan bayangan-bayangan hitam di sekitarnya,
langit yang cerah di malam itu mestinya menjadi perlindungan dan pemberi kesan
nyaman bagi siapa saja yang tengah menikmati saat-saat seperti itu. Namun tidak
untuk perempuan itu, perempuan yang sudah lima belas menit duduk terpaku di
atas kursi taman kota. Dari cahaya matanya mengisyaratkan dirinya tengah
dilanda kerisauan yang begitu mendalam.
“Apa
yang harus aku lakukan?? Sejak pertama kali bertemu dengan Valdo entah apa yang
kurasakan? Tanpa sadar aku selalu menantinya, di bangku belakang kampus itu.
Aku terkadang ingin s’lalu melihatnya walaupun sebentar. Tapi salahkah aku??
Jika selama ini aku terus berpura-pura menjadi orang yang seolah-olah
dikenalnya.”
“Hhhhhuuuuuuuuuffffffffffftttttttttttttt………..!!!!!!!!!!”
(di
waktu bersamaan)
“Prez!”
“Hhmm!”
“Bagi donk! Loe
pelit amat!”
Prezky berjalan
gontai mengitari rumput-rumput yang bersih dan nampak berkilatan karena gerimis
yang datang pada waktu yang lalu. Pop
corn di tangannya perlahan menyusut, jagung yang berubah wujud itu adalah
makanan favorit kedua lelaki yang setiap malam Rabu selalu datang ke taman kota
untuk sekedar jalan-jalan. Tinggal beberapa langkah lagi bagi mereka berdua
untuk sampai di sebuah bangku yang muat untuk berempat itu.
“Kayanya gue kenal
ma cewek yang duduk di bangku itu”
Ujar Prezky sambil
mengunyah pop corn. Valdo memiringkan
wajahnya, sepertinya dirinya juga sudah tidak asing lagi kepada perempuan yang
sedang duduk termenung dengan jaket sweater abunya.
“Ssssttt….jangan
berisik Do! Kita kerjain temen gue yang satu ini…!”
“Prezky
kenal juga ma Vani??”
Dengan langkah
seorang penguntit Prezky berjalan, kupluk jaket yang menggantung di atas
punggunggnya kini dikenakannya.
“Pegangin Do!”
Valdo hanya
menuruti saja apa yang dikatakan teman dekatnya itu.
“1..2..3..hap….”
Dengan sigap
Prezky membungkam mulut seorang perempuan dari arah belakang, sontak Vina panic
dan mencoba berteriak-teriak minta tolong meskipun usahanya tidak berhasil.
“Jhahaha…..Vinaaaaaa!!!!!!”
Prezky melompat
dengan cepat ke depan Vina, layaknya orang member kejutan.
“Prezky!!!!!!!Kamu
bikin orang jantungan aja!!”
Vina bangkit dari
duduknya dan memukul-mukul lengan lelaki yang telah membuatnya kaget setengah
mati.
“Jhahaha…ampun…ampun…udah…udah…Do
sini gue kenalin!”
Vina berhenti
memukul, dan baru menyadari bahwa ada orang lain selain Prezky yang kini
bersamanya. Vina menoleh dan mendapati sosok yang sama sekali sudah tidak
asing. Degup jantungnya kian berdetak cepat, aliran darahnya serasa memanas.
“Valdo..”
Lelaki kurus
tinggi itu terdiam, di dalam benaknya terdapat beberapa keganjilan dan
kebingungan.
“Lho??Kamu udah
kenal ma Valdo Vin?? Wakh baguslah kalo githu.. Ekh..! Do.. Valdo..loe kenapa??”
Secara bergantian
Prezky memandangi kedua orang yang kini sedang terdiam dan saling bertatap muka
itu.
“Vina….!!!!Vin…..!!!Kamu
dimana??”
Tiba-tiba seorang
perempuan dengan wajah yang tidak jauh beda datang menghampiri.
“Wakh, gak bilang
nich datang kesininya rame-rame…”
Valdo terkesima,
berulang kali ia menggerak-gerakan kedua bola matanya untuk melihat kedua
perempuan yang membingungkannya. Giginya gemeretak, pop corn yang berada di
genggamannya dibantingkan keras-keras sampai berhamburan di atas rerumputan dan
berlalu dengan mengambil langkah lebar untuk meninggalkan tempat itu. Isak
tangis terdengar, Vina merobohkan dirinya, diatas rerumputan hijau itu ia
menumpahkan air mata. Vani dan Prezky masih tak mengerti dengan apa yang
terjadi, mereka hanya saling pandang tanpa mengatakan apa-apa.
®®®
Seisi ruangan
gelap, gorden kamarnya tak kunjung untuk ia buka. Matahari yang sudah
seharusnya muncul menembus jendela kaca, ia sembunyikan. Tak ada suara, sesak,
hampa, guratan hitam yang menggantung dibawah mata perempuan bermata lentik itu
semakin jelas terlihat. Sejak semalam Revina mengunci sendiri di dalam
kamarnya, dan hari ini ketika seharusnya ia pergi kuliah, tak dipedulikannya.
Revani yang sudah sedari tadi mengetuk-ngetuk pintu kamar adiknya mulai
khawatir, tak ada suara orang yang menyahut, nampak membisu.
“Vina…buka
pintunya donk…!! Kamu baik-baik aja kan??”
“Dari malam sampai
sekarang kakak mengkhawatirkan kamu, jadi kakak mohon buka pintunya..!”
“Aduh
apa yang harus aku lakukan?? Papa mama udah pada kerja. Apa sebaiknya aku
hubungi Valdo aja ya..??”
Vani mengambil
handphone di saku celananya, mencoba mencari sebuah nama yang terakhir
disimpannya.
“Hallo?? Ini Valdo
ya.. Do aku mohon, kamu datang kesini sekarang juga ya! Aku khawatir banget dengan
Vina, aku takut dia kenapa-kenapa..”
…………………….
“Disini gak ada
siapa-siapa soalnya..makasih ya sebelumnya..”
Tidak butuh waktu
yang lama Valdo pun datang, Vani yang saat itu tengah mondar-mandir di depan
rumahnya segera menghampiri Valdo yang dilihatnya dari balik pagar.
“Syukurlah kamu
cepet datang, ayo ikut aku!”
Mereka berdua pun
menaiki tangga untuk menuju lantai atas dimana Vina berada. Vani dan Valdo
hanya saling berpandangan, perempuan yang menggunakan pakaian putih berenda itu
hanya memberi isyarat ketika keduanya sudah sampai di mulut pintu. Valdo
mengangkat tangan kanannya dan mengetuk pintu.
“Vin…ini aku
Valdo..kamu dengar aku kan!!”
Berulang kali
Valdo mengetuk dan memanggil, kekhawatiran keduanya semakin jelas terlihat.
“Gak kedengaran apa-apa
Van di dalam, apa sebaiknya aku dobrak aja?”
Dengan persetujuan
saudara kembar perempuan yang sedang mengurung diri di kamar itu, Valdo segera
mengambil tindakan, ia mencoba menubruk-nubrukan tubuhnya dengan tumpuan di
lengannya. Usahanya tak memberikan hasil, pintu kayu yang tertutup rapat itu
terlalu kuat menahan dobrakan keras sekalipun. Nafas terengah-engah pun mulai
Valdo rasakan dalam dirinya.
Ketika Valdo
mengambil ancang-ancang untuk memberikan hantaman lagi, tiba-tiba pintu itu
terbuka dengan sendirinya. Dengan wajah pucat dan kusut Vina membuka kunci
secara perlahan.
“Vina!! Syukurlah
kamu tidak apa-apa!! Kakak takut terjadi sesuatu sama kamu!”
“Aku gak apa-apa
kak!”
Suara berat
perempuan yang masih menggunakan pakaian yang sama dengan malam kemarin itu
membuat Valdo bergetar.
“Valdo, maafkan
aku. Tidak seharusnya aku berpura-pura menjadi orang yang kamu sayangi selama
ini. Aku hanya..hanya ingin dekat denganmu saja.”
Setelah melerai
pelukan saudara kembarnya itu Vina beralih dengan menatap Valdo baik-baik lalu
tersenyum.
“Kenapa??Kenapa
kamu ingin dekat denganku?? Dan kenapa kamu harus berpura-pura??”
“Semua itu terjadi
begitu saja. Kamu selalu datang disaat aku benar-benar terpuruk. Kamu memberi
semangat baru dalam hidupku Do! Mungkin kamu gak percaya dengan apa yang aku
katakan, tapi itu benar.”
Valdo masih
bergeming, ia mengharapkan penjelasan yang lebih banyak dari perempuan yang
sedang berterus terang kepadanya.
“Aku menyukaimu
Do!”
Isak tangis mulai
terdengar kembali, Vani yang hanya menyaksikan kejadian diluar dugaannya itu
mengamati dan menyimak baik-baik setiap kata yang dilontarkan oleh adiknya itu.
“Tapi aku sadar,
yang kamu sayangi selama ini bukanlah aku, bukanlah Vani sebagai Vina, tapi
Vani kakakku….”
Vina mengambil
tangan kakaknya dan meletakannya di atas cengkraman Valdo.
“Inilah yang
selama ini kamu tunggu Do! Ini Vani!”
®®®
“Revina…Revani…dan
Revaldo.. Jhaha cinta segitiga yang sungguh menarik!”
“Apaan loe Prez!
Nyindir mulu kerjaan loe!”
Bola basket yang
dipegang lelaki bernomor punggung 23 itu dilemparkan ke arah lelaki bertopi
yang sedang sibuk mengambil gambar dengan kameranya. Sayup-sayup terdengar
suara perempuan memanggil dirinya dan teman dekatnya itu.
“Nakh kebetulan
kalian dateng! Jadi gimana nich Do?? Mau pilih yang mana loe??”
Valdo hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya, sejurus kemudian ia mengambil bola yang
menggelinding ke arahnya. Tanpa mempedulikan pertanyaan Prezky, Valdo memainkan
bola dan mencoba melakukan beberapa shoot.
“Gimana nich Do??”
Melihat temannya yang
malah asyik bermain basket, Prezky menaikan nada bicaranya.
“Nakh loe sendiri,
apa loe masih mau mengubur perasaan yang udah loe bangun selama ini??”
“Perasaan apa yang
loe maksud??”
“Boleh gue minjem
kamera loe!”
Prezky
mengernyitkan kening namun tak banyak komentar.
“Vani sini bentar
dech! Coba lihat ini!”
“Owh
My God!!!! Photo-photo Revani, rupanya ia tahu!”
Dengan senyuman
hangatnya yang mengembang, Vina dapat melihat jelas Prezky dan kakaknya saling
berebut kamera. Mengenai Revaldo?? Jelas-jelas ia tahu, lelaki kurus tinggi itu
tengah tersenyum simpul kepadanya.
®®®
Comments
Post a Comment