Kumandang adzan Subuh mengembalikan aku kedalam dunia nyata, saat sebelumnya aku masih berjalan diatas kehidupan yang begitu maya, keindahan yang membuat kita bingung akan keberadaanya. Tubuh yang terbaring dengan mata terpejam menciptakan satu nikmat yang menenangkan hati, terlebih jika Dia memberikan taburan mimpi di sela pejaman ini.
“Akh.. apakah kumandang adzan Subuh besok masih bisa kudengar??”
Langkah kakiku yang masih lemah berjalan menuju suatu arah, tempat dimana aku terbiasa membasuh muka dan sebagian anggota tubuhku untuk membersihkan hadast kecil yang selalu saja menempel.. Air yang kurasakan saat itu begitu dingin, namun dibalik hawa dingin tersebut ku ketahui bahwa ada sesuatu yang bias membuat aku lebih tegar, membuat wajah yang tertutup sayup kegelisahan kembali tersenyum ceria. Aku begitu menikmati shalat Subuh kali ini, setiap gerakan tubuhku membuat aura tubuhku lebih hangat, namun tanpa disadari saat aku menaikan kedua tanganku dan bermunajat dengan ketulusan, lengan bawahku terasa ada seberkas tetesan, air mataku jatuh secara begitu saja, hatiku yang berbicara terasa keluh, hanya satu permohonan, tak lain hanya satu.
Kalender yang terpajang di kamarku seakkan menusukku, bulatan merah pada angka 23, kini tak menyenangkan aku. Di tanggal 23 Januari biasanya aku tersenyum pada hari itu, hari yang penuh dengan karunia dikala aku bertambah usia, saat_saat semakin dekat dengan kematian. Kini aku menginjak 18 yqhun, usia yang masih muda dan usia yang menumbuhkan jati diri. Akh.. aku tak sanggup lagi, mengingat bulan lalu, aku sampai tak sadarkan diri saat aku memegang kepala, saat rasanya beribu duri menusuk otakku. Aku sendiri tak tahu kenapa aku bisa seperti ni, sakit kepala yang tiap minggu aku rasakan sampai aku merintih kesakitan. Tapi mengapa aku harus tahu sekarang?? Saat umurku sudah divonis empat minggu lagi dan memang hari ini adalah hari yang terakhir dokter ucapkan.
“KANGKER OTAK..”
Sungguh aku aku terdiam waktu itu, keputus asaan seakan mencekikku, dan asa hampa seakan membunuhku perlahan. Aku terdiam.. menunduk dan memejamkan mata, perkataan dokter barusan terasa aneh bagiku, namun begitu pahit untuk didengar.
“Kamu pernah jatuh?”
Dokter kemudian memecah kesunyian. Aku hanya memandangnya, pikiranku terlintas pada saat ayahku sempat mengayunkan tinjunya ke wajahku dan secara langsung aku terjatuh dari tangga atas sampai ke bawah, dan memang semenjak itulah aku mulai suka pusing.
“Saya pernah jatuh dari tangga Dok..!”
Dokter hanya mengangguk dan mencurat-coret kertas kosong yang ada dihadapannya, lau memberikannya kepadaku.
JJJ
“TOK..TOK..TOK..”
Suara ketukan pintu kamar mengejutkanku dari lamunan.
“Selamat ulang tahun Kak..!”
Adik tiriku datang sambil membawa kotak kecil. Anak remaja lima belas tahun tahun itu menghampiri.
“Ekh kamu Put.. Bahagianya punya adik sebaik kamu!!”
“Akh Kak Irvan bisa aja!!”
Senyum kecil Puput tampak tersipu, anak satu-satunya yang ayah miliki sebelum menikah dengan ibuku.
“Okh iya Kak, nich kadonya!”
Kotak biru berpita merah yang sejak tadi disembunyikan dibelakang tubuhnya diberikan padaku.
“Kamu ngasih apa sich Put? Kamu ngasih selamat aja udah cukup bagi Kakak!”
Puput hanya tersenyum mendengar pertanyaaku yang konyol itu. Karena Puput memang begitu saying padaku, dia sudah menganggap aku sebagai kakaknya sendiri. Puput lalu memelukku, aku pun memeluknya dengan erat, aku tek sanggup lagi berkata-kata, aku hanya kembali teringat pada separuh waktuku yang akan memisahkan aku pada Puput, pada canda tawanya, cemberutnya, pada segalanya.
“Kak! Aku berangkat sekolah dulu yach
Assalamu’alaikum….!”
Sesaat Puput pun hilang dari hadapanku bersama tawa ceria dan lambaian tangannya. Aku beralih perhatian, aku melihat kotak bru berpita merah yang masih aku genggam. Jam hias berbentuk mesjid. Aku tersenyum simpul.
“Pasti Puput ingin aku lebih menghargai waktu, memanfaatkan detik dan menit untuk selalu ingat pada-Nya”
Aku meletakan jam itu diatas meja belajarku yang penuh dengan hiasan kado ulang tahun selama tiga tahun bersamanya. Bersama Puput dan ayahnya. Lima tahun lalu saat ayah kandungku masih ada, saat keceriaan keluarga tercipta. Namun ternyata Allah telah menuliskan waktu dan hari diman ayah harus pergi. Ayah pun berlalu, kecelakaan pesawat dari Batam telah mengambil nyawanya. Aku pun begitu terpukul dengan kematian ayah, orang yang selalu aku banggakan karena selalu menghargai waktu. Dan semenjak itu pulaaku selalu khawatir akan keberadaan ibu yang selalu murung dan diam. Dua tahun berlalu, ibu menikah lagi dengan teman kerjanya yang sama sudah sendiri. Dan sampai kini aku tinggal dengannya. Ayah tiriku memeng saying padaku, tapi entah kenapa setiap aku mengingatkannya untuk untuk beribadah dia selalu marah, malahan sempat meninjukku sampai aku jatuh dari tangga.
“Ukh..! Mengapa ayah tiriku susah untuk beribadah yach?? Berbeda sekali dengan ayah kandungku, yang selalu khusuk dalam menjalankan perintah-Nya, selalu menyempatkan waktu diatas kesibukannya.”
Suara ibu terdengar histeris, aku terkejut, dengan penasaran aku melangkah menuju ruang tengah. Aku melihat ibu menangis, gagang telepon yang dipegangnya jatuh ke lantai.
“IRVAN..!”
Ibu memelukku, aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Ibu terus menangis tiada hentinya. Ayah pun heran melihat ibuku yang begini. Aku masih terdiam..
“Ada apa Ma??”
Ayah tiriku kemudian mendekati kami.
“Irvan Pak! Irvan..!”
“Ada apa dengan Irvan Ma?”
Wajah ayah tiriku semakin bingung.
“Irvan kanker otak Pak! Dan kata dokter barusan, ini adalah hari terakhirnya dia!!”
Tangisan Mama semakin keras, aku pun tak bias berbuat apa-apa lagi. Rahasia yang sudah sebulan lamanya terpendam kini terkuak.
“Kenapa kamu gak cerita sama Mama dan Papamu Van?”
Bibirku beku, tatapan duka dan khawatir berubah menjadi tatapan kosong, kepalaku terasa tertusuk ribuan bahkan jutaan jarum, tak bias aku bayangkan sakitnya. Aku merintih lalu terkulai jatuh di lantai. Tubuh ibu yang masih memelukku sambil menjatuhkan air mata ikut terkulai diatas lantai.
“IRVAN.. IRVAN..!!!”
Ayah dan ibuku menggoyangkan tubuhku, aku yang masih bias mendengarkan isak tangis mereka membuka mata.
“Pak, jaga mama baik-baik yach..!! Dan juga saya minta permohonan terakhirku dari Papa, jangan lupa untuk beribadah yach Pak!!”
Ayah pun memelukku dan aku melihat ketulusan dari wajahnya air matanya jatuh, sungguh aku terkesan.. Aku senang bukan karena kepergianku, namun aku senang karena melihat wajah ayah yang yang Nampak berseri-seri. Tak lama kemudian suasan terasa sunyi, aku heran dengan keberadaanku. Dimana ayah dan ibuku?? Mana tangisan yang tadi mengharukanku, dimana aku???...
Comments
Post a Comment