By: Cucu Sudiana
Akhir pekan di
musim kemarau yang cukup panjang memanjakan matahari untuk memancarkan sinar
semaunya, tak peduli akan rintihan para pejalan kaki yang berkeluh kesah
mengutarakan protes kecilnya mengenai perubahan iklim yang belakangan ini
semakin menyiksa maupun rengekan dedaunan yang makin hari makin rontok. Gedung yang
berada di tengah Universitas Siliwangi yang biasa disebut Mandala itu menggema
oleh suara lengkingan, pembaca syair-syair zaman dahulu dengan tatapan mata
yang kosong. Gadis-gadis yang berpakaian gothic, mengepalkan tangannya, rasa
gemetar menelusuri tubuh-tubuh mereka. Berjalan sempoyongan tanpa arah,
sesekali ada yang jatuh dan terkapar di lantai. Sungguh pemandangan yang
memilukan, pengilustrasian umat manusia di atas derita. Sebuah tepukan dari
pria berjubah hitam dengan kain batik Solo yang diikatkan pada kepalanya
menghentikan aksi anak-anak teater.
“Ok!! Semua bagus,
penghayatan cukup maksimal dan latihan sekarang cukup sampai disini, jangan
lupa kita latihan lagi minggu depan!”
Orang berjubah itu
memutar tubuhnya dan berlalu dari tempat yang sejak awal latihan tak diubah
haluannya untuk memata-matai setiap gerak dan langkah anak didiknya. Semua orang
yang berada dalam gedung yang baru saja direnovasi akibat gempa yang
mengguncang Tasikmalaya 2 September 2009 lalu itu bertepuk tangan, gemuruh
puluhan orang itu membakar rasa semangat di siang yang menghembuskan debu hasil
reaksi tanah yang kering. Valencia yang saat itu berdiri menggerakkan kakinya
mendekati tas ranselnya yang tergeletak disamping jendela kaca, lalu beranjak
pergi ke toilet yang ada di belakang gedung tersebut. Ia melangkahkan kakinya
gontai, tubuhnya serasa kaku, pijatan-pijatan kecil di lengan setidaknya dapat
membuat dirinya rileks.
Saat perempuan
berambut pendek dan acak itu membuang napas panjang, serasa ada yang ganjil, ia
merasa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Mungkin itu perasaan,
namun tak dapat disangkal bahwa akhir-akhir ini Valencia sering berhalusinasi
yang aneh, namun ia sendiri tak dapat menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi
dengannya.
“Brusssshhhh……!!!!”
Air yang keluar dari keran dibawah cermin Valencia
basuhkan ke mukanya yang agak berminyak, air dingin itu langsung menyegarkan
pori-pori muka.
Cermin yang
terpasang di toilet mengkilat oleh cahaya lampu yang dinyalakan seorang
perempuan berjubah merah.
“Valen, abis ini
mo langsung kemana?”
Valen yang sedang
membasuh mukanya meluruskan pandangannya ke cermin, tertangkap sosok gadis
mungil dengan rambut panjangnya yang selalu diikat dengan pita merah di
belakang kepalanya.
“Gak kemana-mana
Han, aku langsung pulang aja kayaknya.” Jawab Valen seiring jatuhnya air dari
mukanya.
“Loh gak mau
nongkrong dulu emank? Sekarang kan long
weekend, banyak acara seru tukh di tiap penjuru kota..” tukas Yohana,
langkahnya bergerak mendekati teman dekatnya yang terkadang sulit dimengerti.
“Sepertinya
pekerjaan rumah aku banyak yang belum selesai, jadi aku lebih milih gak
kemana-mana dulu buat sekarang”
“Owh.. ya udah
kalo githu, aku juga gak akan maksa kok..” Yohanna memutar keran dan menakar
air dengan tangannya.
“Kamu sendiri
Hana, sebenarnya mau ngajak aku kemana?? Jadi penasaran”
“Berhubung kamunya
gak ikut.. so aku gak bakalan kasi tau..jhaha”
“Owh.. jadi mau
githu aja ya ma aku?? Oke..” Valen memasang wajah sinisnya yang terkesan
dibuat-buat.
“N’tar dech dikasi
taunya, biar kamu gak bias tidur. Ya udah terusin aja sinisnya..jhahaha” Yohana
beranjak pergi setelah keringat di mukanya hilang tersapu air segar. Valen
masih memandangi pantulan dirinya di cermin, kaos hitam tanpa gambar dan celana
katun tanpa saku membalut tubuhnya.
“Sebenernya
pekerjaan rumahku gak banyak-banyak amat dan sebenernya aku pengen nyari
hiburan yang paling beda di weekend ini. Hhhmmmm…. Tapi…. Perasaan itu….”
“Wuuuussssshhhh……”
Angin dingin
tiba-tiba menyentuh lehernya diam-diam. Valen langsung merinding dan bergegas
keluar dan kamar mandi tersebut. Seseorang tampak memperhatikannya, dan terus
memperhatikan gadis lugu yang baru saja pergi meninggalkan dirinya.
Senandung merintih
itu terngiang kembali di kepala. Saat itu Valen tengah memutar DVD yang
ditemukannya di gudang ruang teater. Kepingan kaset berdebu yang belum
diketahui kepemilikannya, beberapa rekaman video yang menurutnya sangat aneh,
ada yang berisi potongan video angin yang menerpa dedaunan, dari satu pohon ke
pohon yang lain, ada pula video rekaman hujan, gerimis, hujan lebat dengan guntur
yang keras, dan hujan di tengah terik matahari. Video semacam itu menimbulkan
berbagai macam pertanyaan yang terus-menerus muncul. Valen hanya bisa menutup
telinga dan mata ketika hal aneh itu menyapanya.
Tiga hari yang
lalu, ketika Valen hendak pulang dari kelasnya di waktu petang, seperti ada
sesuatu yang menariknya dan menuntun langkahnya menuju ruang teater yang sedang
sepi, pintunya terbuka lebar, sepertinya anggota teater yang lain lupa untuk
mengunci pintu. Cuaca yang cerah saat itu mendadak mendung dan angin bertiup
cukup keras dari biasanya. Valen memasuki ruangan yang menurutnya sudah tidak
asing lagi, namun ada yang berbeda, kotak hitam itu tiba-tiba muncul di dekat
jendela.
“Sepertinya aku
baru melihat ada barang ini disini… Milik siapa ya?? Apa gak ada masalah ya
kalo aku buka kotak ini??”
Dengan rasa
penasarannya, Valen perlahan membuka kotak yang mencuri perhatiannya itu.
“Kaset DVD??
Fiuhh…..”
Valen meniup
kepingan kaset tersebut karena debu yang menempel agak berlebihan.
“Kelihatannya
barang tua…”
Karena rasa
penasarannya, Valen mengambil semua keping DVD yang berdebu itu dan
memasukannya ke dalam tas selendangnya. Tak ada sedikit pun firasat, ataupun
pikiran-pikiran ganjil terhadap barang yang ditemukannya itu.
Senandung kecil
itu masih terdengar…..
Dengan spontan,
Valen menghentikan putaran video. Ia bangkit dari sofa dengan perasaan tak
menentu.
“Aku mulai merasa
aneh dengan semua ini”
Tatapan tajam
Valen menguasai beberapa keping video itu.
“Sejak aku
menemukan barang ini, hal-hal aneh kadang selalu menggangguku. Apa sebaiknya
aku kembalikan saja ya ke tempat barang ini ditemukan??”
Sambil
mondar-mandir Valen memutar pikirannya dan mengingat baik-baik peristiwa dan
firasat yang cukup ganjil.
“Kak Valen… Kak
Valen..”
Panggilan lembut
mengalihkan perhatian Valen dari balik jendela kamar.
“Iya..”
“Siapa
ya?? Kok ada anak kecil manggil-manggil aku sich malem-malem gini”
Masih dalam ribuan
Tanya dalam benaknya, Valen mencoba menenangkan diri dan menjauhkan pikiran
negatif.
“Siapa??”
Valen membuka
pintu, dan didapatinya embusan angin yang kosong, dingin dan hampa. Long weekend?? Merupakan waktu yang
benar-benar panjang baginya.
“Ini serius Hanna…
Aku gak ngada-ngada. Mungkin bagi kamu kelihatannya mustahil dan kebetulan,
tapi aku dapat merasakannya.”
Valencia membuat
penekanan dalam setiap perkataannya, tidak ada yang dilebih-lebihkan dan tidak
ada yang kurang. Yohanna hanya mampu menangkap nada kekhawatiran terhadap
temannya itu.
“Mungkin
seharusnya kita cari tahu.. Kita bisa memulainya dari tempat barang ini
ditemukan.”
“Tunggu apa lagi??
Ayo kita pergi sekarang!”
Valen menarik
tangan sahabatnya itu dan beranjak keluar dari kelas Sastra.
“Apa??? Hujan???
Pas tadi pagi berangkat ke kampus cuaca kelihatan sangat cerah. Tukh kan Han,
belum apa-apa juga udah…”
“Ssssttttt…..
pikirannya negatif mulu nich anak. Cuaca itu kan gampang aja berubah. Ayo kita
lewat jalan belakang biar bisa neduh karena banyak pohon.”
Derap langkah
mereka tak bersenyawa, mata-mata kecil itu kembali mengikuti mereka dengan
wajah yang berseri-seri.
Mungkin sudah
lebih dari belasan orang yang ditanyai secara langsung, harapan tak kunjung
hadir, dan pertanyaan masih saja menggantung. Setiap anggota Seni Teater tidak satu
pun yang pernah melihat dan menyadari keberadaan barang tersebut. Valen sudah
cukup mengeluh karena perjuangan berjam-jamnya itu tak membuahkan hasil.
“Gimana nich?? Tak
ada satu orang pun yang tahu.”
Celetuk Valen
sambil membenarkan pita merah di belakang kepalanya.
“Pandangan aku
juga masih tabu Len..”
Matahari tanpa
sengaja muncul dari balik awan, tanah, daun dan pepohonan nampak kegirangan
menyambutnya karena rasa dingin yang dirasakannya akan segera hilang. Yohanna
mengucek matanya yang mulai lemah, rasa kantuk tiba-tiba menyerang.
“Huwaaaahhh……..”
“Hanna.. udah aja
yuk… Kita kemana kek, makan githu atau main…. Kita udah nunggu cukup lama
disini.”
“Tapi aku masih
penasaran Hanna. Kalau peristiwa aneh itu datang lagi gimana?? Aku gak mau hal
itu terjadi, dan……..”
Sesaat Valen
berhenti berbicara, ia memasang baik-baik pendengarannya. Suara halus anak
kecil itu kembali merintih.
“Dan apa Len??”
Yohanna
memperhatikan tingkah laku sahabatnya yang mulai membuat gerak-gerik aneh.
“Ssssstttttttt………”
Valencia bangkit
dari duduknya, ia kemudian keluar dari ruang seni teater dengan langkah yang
pelan dan menuju suatu tempat. Suara itu semakin jelas ketika Valen mendekati
sebuah ruangan tak terpakai di ujung gedung.
“Dari sini!!”
Valen
menunjuk-nunjuk, telinganya didekatkan ke arah dinding yang diyakini ada
seseorang didalamnya.
“Kamu denger gak??
Kok kayak yang bingung githu??”
Valen berbisik
pelan.
“Aku gak denger
apa-apa Len!!”
Angin dingin mulai
menyapa kulit dua perempuan yang tengah gelisah itu. Penasaran semakin dalam,
Valen memberanikan diri untuk membuka pintu dan memastikan bahwa pendengarannya
tidak salah. Ia mencoba mengumpulkan ketenangan yang seakan hilang. Tangan
putihnya telah menyentuh gagang pintu dan siap untuk dibuka. Dengan napas
tertahan Valen sempat melirikkan matanya kepada Yohanna yang dipandanginya
sedang ketakutan.
“BRAKK………!!!!!!!”
Rintihan suara
anak kecil mendadak raib, tak ada yang menandakan seseorang telah memasuki
ruangan berdebu itu, semuanya di luar dugaan dan suasana semakin mencekam
dibawah sinar matahari yang kembali datang setelah hujan reda.
Bersambung........
Comments
Post a Comment