“Apakah
Tuhan memberikanku keadilan hidup?” Sepertinya aku terlalu lantang untuk
bertanya seperti ini. Di usiaku yang telah melewati 30 ini sedikit banyak telah
mengajarkanku arti kehidupan, kehidupan seorang perempuan yang seharusnya sudah
mempunyai cinta sejati, mempunyai suami yang benar-benar membimbingku, yang
mampu menerangi langkah hidupku yang berjalan secara sederhana ini. Tidak
seperti diriku sekarang, perempuan dengan predikat janda yang gagal menjalin
rumah tangga. Aku rasa cita-citaku ini terlalu sempurna, terlalu sempurna dalam
kacamata seorang perempuan yang terlahir sebagai penyandang cacat.
Mungkinkah
ini kesalahan kedua orang tuaku? Yang telah melahirkanku ke dunia tanpa adanya
kaki yang seharusnya memanjang di bawah tubuhku. Aku mendengar cerita bahwa 30
tahun yang silam ibuku pernah menyumpahi seorang lelaki gila yang sedang
menggunting-gunting kasur ibuku yang tengah dijemur di belakang rumah. Matahari
pada saat itu nampak cerah, dan tanpa sadar ibuku yang tengah mengandung aku
membentak keras. “Jangan potong kasurku! Dasar orang gila! Potong saja kaki
sendiri!” Hukum karmakah ini? Atau Tuhan telah memperingatkan ibuku lewat
sesuatu yang akan diingat jelas selama hidupnya? Lalu kenapa harus aku yang
menanggung segalanya?
Ketika
aku sadar akan ketidak sempurnaan fisikku, kakiku yang hanya menjuntai sebatas
lutut menjadi bahan tontonan orang-orang yang selalu mengusap-ngusap perut
setelah melihatku, mulutnya komat kamit entah mengatakan apa. Terlebih lagi
ketika ada orang baru yang masuk ke daerahku, pandangan aneh yang tertuju pada kakiku
sudah menjadi makananku sehari-hari. Aku sudah bosan menangis menyesali hidupku
yang seperti ini, aku juga sudah bosan menyalahkan Tuhan.
Selama
lebih dari 30 tahun aku berjalan dengan lututku yang nampak aneh, aku harus
sabar menempuh perjalanan yang ingin aku tuju, aku iri melihat orang-orang
berjalan dan berlari, aku iri melihat teman perempuan sebayaku yang bisa dengan
mudahnya menjangkau dunia. Jangankan dunia, pergi ke luar kampung pun aku tak
berani. Keluar dari batas aman berarti aku harus siap melihat reaksi orang yang
membuatku penat dan lelah. Akan tetapi, aku pernah diberi tamparan keras oleh
ayahku. “Jangan terus menerus menyalahkan Tuhan! Kamu sudah diberi kehidupan
seharusnya disyukuri! Lihat sana orang-orang yang kurang dari kamu! Di luar
sana banyak orang yang tidak bisa bicara, tidak bisa mendengar, tidak bisa
melihat, apa kamu tak sadar akan hal itu?” Pada saat itu, ketika usiaku masih
belasan tahun, masa-masa keremajaanku yang jelas berbeda dengan yang lain aku
hanya tertunduk tanpa banyak bicara, hanya air mata yang selalu saja bergulir
membasahi pipiku.
Sebenarnya
aku menangkap sebuah isyarat dari ayahku yang menandakan bahwa ia lelah
menasehatiku, tatapan matanya tajam namun bibirnya bergetar seperti menahan
rasa sakit. Waktu itu mungkin aku telah melukai ayahku tepat di hatinya, dan
hal yang paling mengejutkan adalah ayahku meninggal setelah beberapa hari
mengutarakan apa yang menjadi beban hidupnya selama ini, aku terpekur dan
membisu. Dan setidaknya kata-kata itulah yang menjadi alasanku untuk tetap
hidup dengan tegar, hidup layaknya seorang perempuan normal yang bisa
membanggakan orang tua.
:):):)
Mata
itu meyakikanku, lelaki normal yang datang padaku sungguh sangat membuatku
terkesan. Aku mengenalnya sebagai lelaki sederhana yang tinggal di daerah
Tasikmalaya, artinya ada sebuah perjalanan yang cukup panjang jika ia ingin
datang ke rumahku yang berdomisisli di Ciamis. Tuhan memang mempunyai rencana
indah, tak disangka ternyata meskipun aku cacat, terlahir dalam keluarga yang
sederhana mempunyai kesempatan juga untuk merajut asa dalam indahnya
pernikahan, lelaki itu mengutarakan niat baiknya langsung kepadaku, ia menerima
aku apa adanya dan berjiwa besar untuk menerima kenyataan bahwa ia akan
mempunyai istri yang cacat seperti aku ini. Aku berseru mengagungkan Tuhan
dalam hatiku, bagi seorang perempuan rencana pernikahan adalah hal yang paling
ditunggu-tunggu, dan aku siap menjadi istri yang baik dengan segala
kekuranganku.
Apakah
sudah cukup sampai disini? Ternyata keyakinanku meleset, sebuah keluarga yang
utuh yang aku idamkan perlahan memudar seiring kenyataan yang aku alami
sekarang. Pernikahanku sudah hampir memasuki tahun kedua dan perjalanan hidup
tak selalu mulus, selalu ada kerikil tajam yang membuatku terhempas dari tujuan
dan melenceng ke arah yang lain. Aku pernah mendengar pembicaraan keluarga
suamiku yang sepertinya kurang berkenan mempunyai anggota keluarga baru seperti
aku, isi pembicaraannya mengenai apa yang dipikirkan suamiku yang lebih memilih
menikah dengan perempuan sepertiku, kata-katanya halus namun menyayat hatiku
yang sudah lama tersayat, tak pernah mampu aku menilai seseorang dari balik
senyumnya, apakah tulus? Sebuah keterpaksaan? Atau sekedar norma yang harus
dijalankan?
Aku
egoiskah? Melihat kehidupanku dari satu sisi? Sisi yang gelap. Baiklah, sejenak
aku membalikkan koin kehidupanku pada sisi yang terang. Selepas hari
pernikahanku, kehidupanku seolah berubah, banyak hal luar biasa yang aku
dapatkan. Mempunyai suami adalah hal terindah yang pernah aku miliki, ketika
bangun pagi aku melihat paras wajahnya, aku dapat melihat fisiknya secara menyeluruh
namun sayang sekali aku tak mampu melihat jiwanya secara menyeluruh pula.
Suamiku adalah seorang pedagang, setiap awal bulan ia berangkat ke kota dan
ketika dagangannya sudah habis terjual ia akan kembali menemuiku di rumah.
Seharusnya aku tinggal di rumah suami, seperti yang kebanyakan orang lakukan,
namun karena banyak pertimbangan aku lebih sering tinggal di rumahku sendiri,
karena sepeninggal ayahku, aku selalu khawatir kepada ibuku yang lebih banyak
menghabiskan waktunya sendiri. Selain menjalani kesibukannya sebagai petani,
ibuku juga rajin mengisi waktunya untuk membuat makanan ringan dari singkong
untuk mengisi jajanan warung. Suamiku juga tidak keberatan akan hal itu, ia
mengizinkanku tinggal di rumah sendiri untuk membantu ibuku yang umurnya
termakan waktu.
Selama
ini aku mengenal suamiku dengan perangainya yang lemah lembut, dalam doa aku
sering melontarkan namanya sebagai ungkapan terimakasihku kepada Tuhan, suamiku
bagaikan malaikat yang melunturkan rasa kecewaku akan kehidupan ini. Ia dengan
ikhlas melakukan semuanya bersamaku, mendengar keluh kesahku dan memberi
pencerahan ketika aku sedang putus asa.
:):):)
“Iya...
Aku disini...!”
Aku
menuju ke ruang tengah menghampiri arah suara suamiku, ada yang ganjil, orang
yang memanggilku tak ada, atau lebih tepatnya tak ada yang memanggilku. Aku
hanya mendengar suara angan-anganku sendiri, halusinasi yang berubah bentuk
menjadi suara suamiku. Ini gila, ada sesuatu yang masuk kedalam pikiranku,
kenyataan bahwa suamiku telah meninggalkanku menjadi sebuah ketakutan baru
bagiku.
“Sabar
ya...”
Ribuan
kata “sabar” yang telah diucapkan banyak orang membuatku semakin membenci
semuanya. Dimana suamiku yang selalu membimbing arah langkahku? Dimana senyum
lelaki yang ketika aku melihatnya aku merasa menjadi orang yang paling bahagia,
semuanya menghilang! Sama sekali tak kumengerti, janji lelaki itu palsu. Sudah
enam bulan suamiku tak kunjung pulang, ia memutus kontak denganku sehingga
menjadi sulit bagiku untuk menemukannya. Pernah aku datang ke rumah mertua, dan
yang paling menyakitkan mertuaku seperti tak menerimaku lagi, ketika aku
bertanya keberadaan suamiku mereka hanya berkelit dan memutar pembicaraan ,
yang aku tangkap hanyalah sebuah rahasia yang sedang ditutup tutupi, alhasil
aku pulang dengan omong kosong.
Suara
takbir di tahun 2014 menggema di udara, malam menjelang hari raya Idul Fitri
dari semenjak aku kecil sampai di usiaku yang sudah tak lagi muda ini masih
tetap menjadi malam yang paling indah. Aku menanti keajaiban, dari hari aku
kehilangan suamiku aku terus berdoa mudah-mudahan orang yang aku sayangi
kembali, apapun alasan ia menghilang akan aku dengarkan dan aku terima dengan
lapang dada.
“Tok...tok...tok...!”
Pintu
depan rumahku bersuara, ada tamu di malam ini. Aku langsung datang menghampiri
daun pintu, berharap apa yang aku impikan datang malam ini. Pintu depan rumaku
aku buka, lagi-lagi tidak sesuai dengan keinginanku, yang datang hanyalah
saudara suamiku yang kebetulan dekat dengan rumahku. Ada apakah gerangan ia
datang menemuiku? Seharusnya tamu yang mengutarakan maksud kedatangannya, tapi
kali ini berbeda, perempuan tua yang datang di malam itu memelukku dengan erat,
ada bahasa yang tak mampu aku terjemahkan, aku menunggu ia berbicara.
Karena
terlalu lama larut dalam susana yang tak menentu aku akhirnya melontarkan
pertanyaan kecil mengenai maksud kedatangannya. Tuhan menjawab doaku, kabar
dari suamiku aku dengar, aku sangat bahagia, tapi dibalik kebahagiaan itu
sepertinya aku tak mampu berlapang dada, aku tarik kembali pernyataanku tadi.
Haruskah aku bilang malam hari raya Idul Fitri 2014 adalah yang malam terburuk
yang pernah aku alami? Seharusnya tak begitu, meraih kemenangan adalah kunci,
apakah kita akan kembali kepada perangai buruk kita? Ataukah kembali kepada
perangai baik. Dan jika aku hubungkan dengan keadaanku sekarang maka aku berada
dalam dua pilihan, apakah aku akan kembali kepada penyesalan hidupku yang
selalu menganggap Tuhan tak adil? Ataukah kembali bersyukur seperti yang selalu
aku lakukan ketika mempunyai suami?
Aku
tak memilih kedua-duanya! Terlalu berisiko. Diam adalah emas, dan emas itulah
yang akan mempercantik diri kita. Sepatutnya aku kembali pada-Nya, kembali meminta
seseorang yang akan menggantikan suamiku yang tidak bertanggungjawab. Apa??
Tidak bertanggungjawab?? Itu sudah jelas!!
“Maksud
saya datang kesini hanya mau meminta maaf yang sebesar-besarnya dan
menyampaikan berita yang mungkin kurang berkenan di hati Nenk. Ternyata suami
Nenk yang telah enam bulan menghilang kini telah diketahui keberadaanya,
sekarang ia ada di sebuah daerah masih di Jawa Barat dan hal yang sangat malu
saya sampaikan dia sekarang telah berkeluarga lagi, ini pernikahan ke-7 nya
setelah Nenk.”
:):):)
Comments
Post a Comment