Penulis : Cucu Sudiana
Tgl Penulisan : Juli
2010
Kala
hujan berteriak dan mengeluarkan air matanya, disekeliling lelaki bermata agak
sipit itu basah karena air mulai menggenangi jalan-jalan kecil yang turun. Dia
berlari dan menghampiri sisi rumah yang teduh, namun juga rumah yang lembab
karena ditinggalkan pemiliknya.
“Gak
apa-apa dech..! Yang penting ng’gak kebasahan!”
Lelaki
itu menatap tiap sudut rumah yang gelap, berdebu dan penuh dengan jaring
laba-laba.
“Hari
ini gelap, mendung dan hujan, tapi aku berharap besok adalah hari yang terang,
cerah dengan senyum matahari yang mempesona..!”
Udara
bertiup dari pojok mata angin dan melemparkan kertas yang terselip dari buku
yang aku pegang. Sambil menoleh aku menghela nafas panjang dan sesekali
memproyeksikan sosok yang ada di otakku.
“Hhmm.. Gadiest..”
JJJ
Pusaran
jiwa terhenyak, debaran jantung lelaki berjeans hitam dan berkaos merah
meninggi, konsentrasi pikirannya mulai goyah. Sebelah tangannya menggenggam
secarik kertas berisi tulisan pengantar suara hatinya yang tidak bisa secara
gamblang terucap dengan lidah. Saat itu ia sedang menunggu, yang mana pada saat
tepat satu bulan yang lalu, ia melontarkan kata yang terbelit-belit yang
sebenarnya sudah bisa diterka dan diterjemahkan melalui syaraf dan urat nadi
setiap perempuan. Sedikit kesalahan yang mengganggunya, ia terlalu cepat
mengungkapkan isi hatinya tanpa mengenali lebih jauh sosok yang akan menjadi
malaikat di singgasananya. Semua itu terjadi karena sebuah kekeliruan,
mengikhtisarkan sikap dan perilaku tanpa bisa membaca terlebih dahulu isi hati
Gadiest.
Doa’ku
kemarin Tuhan kabulkan, yang secara jelas melukiskan kanvas bumi lewat kota
yang indah dengan sang mentari yang memancarkan aura kebahagiaannya. Air danau
yang nampak dari ketinggian serupa kilauan intan yang memancarkan pesonanya.
“Diest, aku ingin kamu membaca tulisanku
ini, dan aku juga ingin kamu membaca dalam-dalam isi dari pikiranku ini..!”
Tangan
lelaki itu bergerak memberikan kertas, suasana siang di atas bukit kota itu
melemahkan kakiku untuk berdiri. Rambut indah Gadiest yang tersibak tersapa
sang angin semakin meneduhkan jiwa. Hanya satu kata yang ingin lelaki itu
dengar,kejujuran hati seorang perempuan
walaupun itu bisa melemahkan atau juga menguatkan.
“Aku ngerti dengan apa yang selama ini
kamu mau, dan aku juga tidak bisa membohongi apa yang saat ini kurasakan. Sudah
seharusnya aku jujur, tapi aku harap kamu bisa menerima keputusanku, meskipun itu
baik atau buruk buat kamu. Sudah seharusnya aku katakana hal ini sejak awal,
bahwa aku……..”
Lama
Gadiest termenung, beribu-ribu pertanyaan hadir dibenak lelaki itu, ia pun
bingung, terbalut kebimbangan tanpa tahu apa yang harus dilakukan.
“Wuusssshhhh….”
Kertas
yang ada di genggaman Gadiest ditebaskan. Ia berlari dari hadapan lelaki itu,
sedikit isak terdengar, setitik air mata jatuh saat ia memalingkan wajah dan
tubuhnya. Kertas yang tergeletak diatas tanah
diraih oleh lelaki itu, kemudian ia remas dengan tangan kanannya,
jalanan tinggi diatas bukit yang menghadap danau dan kota yang indah, ia
berlari sekedar mengambil ancang-ancang lalu melemparkan jauh-jauh kertas itu.
“Argghh..!!!
Semua cewek yang kudekati semuanya kayak gini! SIIAALL….!!!!!”
Lelaki
itu berbicara sendiri dan meneriakan keras-keras kekesalannya, Berbeda dengan
perempuan manis yang mengambil inisiatif untuk pergi ke tempat dimana ia bisa
melihat keramaian dan mengingat sejenak kisah masa lalu yang pernah terekam di
ingatannya.
“Cepat..
cepat..!!”
Perempuan
bertopi itu mendorong-dorong ransel temannya, pagar tembok kawasan militer yang
berdiri sekitar lima meter tersebut dipanjati oleh dua perempuan berbaju hijau
dan celana hitam bersaku.
“Iya..
iya..!! ini juga lagi usaha.. aduh susah banget sich..!”
Tangan
kedua perempuan tersebut mulai terasa panas, tambang yang dilemparkan dan
terkait pada tiang diatas pagar dinding kawasan militer yang luasnya hampir
enam kali luas lapangan bola. Hari itu merupakan kegiatan kampus yang dilaksanakan
di luar lembaga yang dinamakan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara, yang mana
semua mahasiswa diikutsertakan sebagai usaha pembekalan diri. Lain halnya
dengan pandangan dua perempuan yang bernama Tya dan Gadiest, mereka benci
dengan hal-hal yang berbau baris-berbaris dan kegiatan lain yang berlangsung di
lapangan, dibawah terik sinar matahari yang bisa menguras keringat.
“DREPPP…..!”
Terdengar
dua sepatu mendarat diatas tanah.
“Ayo
Diest!! Sedikit lagi, pegang talinya kuat-kuat!”
Tya
yang sudah berada dibalik dinding merasa cemas melihat Gadiest yang kesulitan
untuk menarik tubuhnya dan berjalan terbata-bata di dinding.
“Adukh, loe mah enak Ty, kerjaan loe
manjet-manjet pohon, ngambil mangga di rumah gue..!”
Tya
hanya ketawa, namun dibalik tawanya terselip kecemasan. Kini Gadiest sudah
berada diatas dinding dan bersiap turun. Ia membailkan tali kearah luar
kawasan.
“Sedikit
lagi Diest.. sedikit lagi..!! Lompat-lompat!!”
Tya
berseru-seru dan bersiap untuk lari sekencang mungkin. Ketika Gadiest melayangkan
tubuhnya setinggi dua meter, tanpa diketahui seorang lelaki berpakaian sama
persis berlari kuat bersebelahan dengan dinding.
“AAAWWW…!!!”
Tubuh
lelaki dan perempuan itu bertubrukan. Gadiest kehilangan kendali, ia
melemparkan tubuhnya dengan posisi miring ke belakang, punggungnya menghantam
bahu lelaki itu, sesaat setelah itu, keduanya tak sadarkan diri. Tya panik,
iamenghampiri keduanya.
“Ya
ampun, gimana nich?? Dua-duanya pingsan lagi!!”
Raut
wajah Tya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ia mencoba menyadarkan
keduanya dengan cara yang ia mampu, namun usahanya gagal dan dengan sangat
terpaksa Tya berteriak minta tolong, dan dalam beberapa menit patrol militer
pun tiba dan membawa mereka kembali ke kawasan militer.
“Gawat
nich.. bisa panjang urusannya!”
Tya
hanya bisa membuang kekesalannya, namun ia tidak bisa menyalahkan dirinya,
karena keselamatan temannya itu jauh lebih berarti.
JJJ
Keadaan
memang sepi, Nampak orang yang berlalu lalang dibalik pintu kaca kamar itu
menutup rapat mulutnya. Tercium bau bahan kimia dari sekitar kamar. Gadiest
melirik ke samping dan terlihat lelaki yang tadi bertunrukan dengannya. Papan
nama lelaki tersebut tertangkap jelas. REINDRA.
“Maaf yach..!! Kamu jadi gini
karena ulahku..!”
Gadiest
berbicara dalam hati, matanya masih menangkap wajah lelaki itu.
“Arrggghhh…!”
Erangan
kecil tiba-tiba hadir di mulut Reindra, ia menggigit bibir bawahnya dengan
posisi tangan yang memegang sebelah bahunya yang terasa sakit, namun matanya
masih tertutup. Gadiest lalu pura-pura tidur kembali sambil sesekali melirik ke
arah lelaki itu. Tya yang sejak satu jam lalu menunggu di sofa ruangan
kesehatan itu tertidur pulas karena menunggu terlalu lama.
“AAARRRRGGGGHHHHH……!!!!”
Reindra
kembali mengerang dengan nada sedikit tinggi. Tya secara spontan terbangun dan
langsung menghampirinya.
“Sebentar
Dra, saya manggil dokter dulu…!!!”
Tya
yang sudah begitu kenal dengan Reindra langsung pergi mencari pertolongan.
Gadiest yang dari tadi menguping tanpa reaksi merasa keheranan.
“Tya kenal sama cowok disamping
gue???”
JJJ
Lama
sudah Gadiest termenung, lampu kota sudah mulai menyala meskipun awan hitam
belum begitu banyak menggerayangi. Paras cantik Gadiest agak sembab karena air
matanya yang mengering dibawah kelopak ayunya. Kursi taman yang ia duduki pun
seakan ikut murung menggambarkan suasana hatinya. Pandangan lepas ke arah
jalanan besar dan deretan bunyi gemuruh lalu lalangnya kendaraan seolah-olah nampak
bisu dihadapannya.
“BBRRUUGGHHHH…….!!!”
Sebuah
hantaman besar terjadi, tepat beberapa langkah dari keberadaan Gadiest terdapat
insiden kecelakaan, sebuah mobil berkecepatan tinggi menghantam dua orang
pengemis di tepi jalan. Gadiest terperanjat melihatnya, bukan karena kejadian
yang berlangsung cepat, namun karena darah kedua orang pengemis itu membanjiri
asapal hitam. Rasa ketakutan mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Mobil biru
bertuliskan TAKSI Gadiest hentikan dan ia menyuruh supir taksi tersebut memutar
arah ke tempat dimana ia pergi meninggalkan seorang pria dengan kebimbangan.
Putaran roda sudah menempuh beberapa kilometer, jalanan menanjak kemudian
sampailah di suatu bukit yang berbaur dengan cahaya di petang itu. Air danau
yang nampak dari kejauhan serupa lautan emas yang berkilauan.
“Berhenti
Pak..!”
Gadiest
berseru ketika sebentuk bayangan terlintas di arah barat. Reindra masih tetap
berada disana, di tempat Gadiest melemparkan secarik kertas pemberiannya. Ada
yang berubah, bayangan Reindra berlarian diatas kepalanya, ada kepulan asap
yang ia hembuskan dari mulutnya.
Reindra
terbatuk-batuk, tenggorokannya terasa kering dan pengap, mungkin cara yang satu
itu bisa meredam sedikit amarahnya dan membuang makian dari kepulan asap rokok
yang masih saja dihisapnya. Disekitarnya terdapat puluhan punting yang
terserak. Semua sia-sia, makian tersebut ia hirup kembali dari nafasnya dan
amarah itu masih tetap bersenandung di hatinya.
“Cukup
Rein..!”
Nada
isak bercampur dalam kalimat yang dilontarkan seorang perempuan yang ada
dibelakang Reindra. Saat Reindra menoleh, dengan sangat cepat Gadiest menghampirinya,
ia membuang rokok yang ada ditangan Reindra dan ia mulai mendekati dan
tertunduk lemah. Reindra melihat dalam-dalam dibalik mata Gadiest yang tertutup
rapat, ada sebuah makna yang sulit ia mengerti..
“Kenapa ia kembali lagi..?”
Ada
segelintir kata yang ingin Gadiest ucapkan. namun terlihat dibalik tawanya
masih tersimpan keragu-raguan.
“Bicaralah
Diest!! Katakanlah apa pun itu!”
Tangan
Reindra meraih jari-jarinya yang lembut dan meletakannya dalam genggaman.
“Sejak
kapan kamu merokok?? Dari tahun kemarin pun aku belum pernah lihat kamu
merokok..!
“Tahun kemarin?? Aku kenal sama kamu baru
satu bulan!! Kamu inget satu bulan yang lalu? Kita kan untuk pertama kalinya
bertemu di dunia nyata! Dan di dunia maya pun, kita berinteraksi baru tiga
bulan.. Tapi kamu bilang..??””
Reindra
mulai penasaran, ia mencoba memutar baikan ingatan.
“Kamu inget ng’gak, kalo kamu pernah
kejatuhan seorang cewek waktu PPBN hingga kamu masuk Balai Pengobatan..?”
“Hhhmmm… Oo Iya, waktu itu aku lagi lari
buat nyari temen satu peleton yang kabur..!”
“Terus kamu terbaring sendirian di kamar
pasien..?”
Gadiest semakin asyik melontarkan
pertanyaan yang terus membuat Reindra kebingungan.
“Lho, kok tahu juga? Perasaan kita gak
pernah kenal dari sejauh itu dech?”
Gadiest
tersenyum, ia bergeser dari tempatnya dan memposisikan dirinya ke arah sinar
petang, ia lalu duduk. Reindra pun mulai menurunkan tubuh dan duduk
bersampingan dengannya.
“Orang itu aku Rein..! Aku yang
membuatmu jatuh, aku yang meninggalkanmu saat itu karena keadaan takut, aku
yang menitipkan mata, mulut dan telinga kepada temanmu Tya..! Aku sudah
memperhatikanmu sejauh itu..”
“Kalau benar seperti itu,kenapa saat aku
benar-benar ingin memilikimu, tapi kamu malah lari menjauh?? Dan aku juga heran
sekarang tiba-tiba kamu kembali lagi kesini..??”
“Aku benar-benar bingung Rein, disela
waktuku datang seorang lelaki yang menyayangiku, dia mencoba menjadi yang
terbaik dan memberikan hatinya sepenuhnya untukku. Aku sadar, aku hanya seorang
perempuan,, aku gak bisa terus menanti kamu jika kamu sendiri gak tahu
perasaanku!”
Gadiest mengambil nafas dalam-dalam lau
menghembuskannya.
“Singkat kata, aku pun luluh dalam
pelukannya, aku sudah sayang sama dia, aku terpesona dengan ketulusan hatinya.
namun baru beberapa bulan saja Tuhan berkata lain..”
Gadiest
terhenti bicara, matanya mulai meleleh, Reindra yang ikut larut dengan cermin
hatinya mulai merangkulnya, menggenggam tangan dan menghapus air matanya dengan
jemari.
“Dia
meninggal Rein..!”
Gadiest
merunduk, isak tangisnya mulai kedengaran.
“Dia mengalami kecelakaan tragis tepat
dihadapanku. Aku yang saat itu sedang menunggunya di suatu tempat dibawah
rindangnya pohon yang menghadap ke jalanan. Saat aku melihat dia, senyumnya
membuat aku merasa jadi orang yang begitu bahagia, kemeja putih yang ia kenakan
dalam hitungan detik berubah menjadi merah karena tiba-tiba saja sebuah truck
yang lewat oleng,dan……”
Gadiest
tersedu-sedu, air matanya mulai membanjiri tanah, sentuhan jemari Reindra tak
sanggup lagi menghapus setiap kesedihan di wajahnya. Reindra hanya terdiam, ia
membenamkan wajah Gadiest di bahunya dan membiarkannya untuk menghabiskan
kesedihan. Isak tangisnya mulai reda.
“Diest coba kamu lihat matahari petang
disana!! Ia bagaikan cinta yang menyimpan sejuta kenangan, perlahan turun dan
meninggalkan gelap, namun cinta yang datang esok hari adalah cinta yang ia
bangun dan ia yakini..”
Gadiest
menatap mata Reindra lekat-lekat, ia lalu menggenggam baju Reindra dan
menariknya kuat, keduanya pun tenggelam dalam ciuman petang yang penuh romantisme
sampai gelap itu datang menghampiri.
Comments
Post a Comment