Sejak kejadian itu
Valen kembali menjalani aktivitas seperti biasanya, kejadian-kejadian ganjil
kini pergi entah kemana. Kepingan DVD yang ia temukan masih tersimpan di dalam
kamarnya, namun tak berani lagi ia memutar video misterius itu. Hal itu tentu
saja membuat hari-hari yang dilalui Valen sangat tenang, ia bernapas seperti
sedia kalanya.
Terik mentari di
siang itu sepertinya terlalu panas untuk kulit lengan Valen yang saat itu
tengah menuju ruang latihan teater.
“Panas sekali”
Keluh Valen
sembari mengusap lengan dengan telapak tangannya. Hari itu hari Minggu di
pertengahan Januari.
“Valen!!”
Seseorang dengan
pita merah di belakang kepalanya menyapa keras-keras.
“Ya ampun, badan
kamu kecil tapi suara kamu kenceng juga ya!!”
“Jhaha..Masalah
buat loe??”
“Tentu ajah
masalah besar, kuping aku lama-lama bisa jebol tau!!”
“Hush jangan
bicara sembarangan, nanti didengar Tuhan”
“Ooppzz…becanda
denk!!hehe”
“Nich!!”
Sekaleng soda
Hanna tawarkan. Rasanya minuman itu pas sekali disaat panas yang dirasakan
Valen mulai menyebar.
“Thank’s!!”
“Ekh Len, soal
kasus kemaren gimana?? Loe gak digangguin lagi ma hal-hal yang aneh kan??”
“Udah enggak
tukh!! Tapi sebenernya aku masih penasaran..”
“Sama! Peristiwa
waktu di gudang itu aku masih bingung.”
“Entahlah, aku
sendiri juga gak tau, seperti halusinasi tapi bener-bener nyata”
Valen membuka
tutup kaleng soda yang dari tadi hanya digenggam saja. Bunyi mendesis keluar
dari kaleng dan sedikit menyemburkan soda hingga tumpah di tangannya yang
lembut.
“Oooppzzz!!!!”
“Jhaha…sorry,
mungkin gara-gara aku tadi ngejar-ngejar kamu, jadinya kalengnya ikut kekocok”
“Hhmm..dasar..”
Gudang yang pernah
membuat Vallen merasa ganjil dilewatinya. Pintu gudang yang sudah usang dan
berdebu itu terlihat begitu dingin dan misterius.
“Hanna….”
“Iya, kenapa??”
“Udah seminggu
sejak kejadian itu, tapi aku kok masih penasaran ya?”
“Aduh udahlah..
Hal ini sama sekali gak penting, kamu mau terus-terusan digangguin makhlus
halus?”
Vallen merinding
ketika Hanna mengatakan kata-kata terakhirnya, rasa penasarannya semakin
menyala-nyala.
“Aku harus kembali
mencari tahu apa yang sebenernya terjadi Han!”
Vallen segera
menghampiri gudang, sambil menahan napasnya ia membuka pintu, Hanna hanya bisa
pasrah dengan kemungkinan terburuk yang akan temannya alami.
Vallen mengamati
setiap isi gudang tersebut dengan cermat, kursi yang bertumpukan, meja-meja usang
yang kayunya dimakan usia dan benda-benda yang sudah tidak dipergunakan lainnya
bertumpuk di ujung ruangan.
“Aku gak nemuin
hal-hal yang mencurigakan disini”
“Dari tadi juga
aku kan udah bilang, kamu sich ngotot terus!”
“Tunggu
sebentar..Apa itu??”
Secarik foto tua
terselip diantara tumpukan kursi. Di dalamnya terdapat potret seorang anak
perempuan kecil mengenakan pakaian renda serba putih dengan pita rambut diatas
kepalanya.
“Foto siapa ini?”
“Mana, coba aku
lihat?”
Hanna menyambar
lembar foto tersebut dan mengamatinya baik-baik.
“Aku gak tahu ini
siapa. Sepertinya foto ini sudah lama tersimpan disini”
“Drrrtttt…..drrrrttttt!!”
“Hallo, owh
iya-iya, maaf membuat kalian menunggu, kita kesana sekarang.”
“Ayo cepetan kita
harus segera pergi, temen-temen kita sudah menunggu!”
Hanna menarik
tangan Vallen, keduanya menuju ruangan teater untuk latihan. Diam-diam Vallen
menyelipkan foto usang tersebut ke dalam saku celananya, ia meninggalkan gudang
tersebut dengan kerutan kening di wajahnya.
“Tolong aku Kak..!
Tolong aku..! Keluarkan aku dari sini..!”
Suara anak kecil
yang dikenalinya itu memenuhi pikiran Vallen yang saat itu tengah berdiri
sendiri di ruangan yang gelap.
“Aku ingin
pulang…”
Vallen tercekat,
pandangannya menangkap tubuh seorang anak perempuan kecil yang perlahan
mendekatinya. Mulutnya terkunci, susah sekali rasanya untuk berbicara bahkan berteriak
sekalipun. Tubuh gadis itu bergoncang dengan hebat, ingin rasanya ia berlari
meninggalkan ruangan yang gelap dan sepi, namun usahanya sia-sia. Anak kecil it
terus mendekat, semakin dekat, dan hampir saja Vallen bisa menangkap wajah
perempuan kecil itu sebelum ia merasa ada orang lain yang memanggilnya.
“Vallen..
Vallen..!”
“Jangan
mendekat!!!”
Vallen membuka
matanya sambil berteriak, keringat di keningnya mengalir perlahan, jantungnya
berdebar-debar tidak teratur dan napasnya tersendat-sendat.
“Anak itu..”
“Sadar Vallen,
siapa yang kamu bicarakan?”
Cahaya yang
menerpa kedalam matanya menarik kesadarannya.
“Ya Tuhan.. Apa
maksud mimpiku barusan?”
Hanna masih
bingung dengan apa yang dialami temannya itu, di sela waktu istirahat latihan
mereka hanya merebahkan punggungnya diatas matras kecil di ruang teater dan
tiba-tiba saja temannya itu tertidur dengan cepat dan bermimpi aneh.
“Jangan bilang,
kalau anak kecil itu kembali…”
“Itu benar!”
Vallen memotong
pembicaraan. Udara disekeliling mendadak dingin. Baru
saja lepas dari dua minggu berlalu disaat ia dapat tidur dengan tenang dan
melalui waktu-waktunya dengan nyaman, kini ia harus kembali melewati
hari-harinya yang berat.
“Fotonya hilang!
Foto usang itu benar-benar hilang!”
Vallen panik
seketika, kedua tangannya sibuk merogoh saku celananya, jelas-jelas ia
menyimpan foto tersebut dalam saku belakang celananya, namun seketika raib
tanpa jejak. Mimpi itu menimbulkan kecurigaan bahwa ada suatu hal yang belum
terselesaikan. Kasus ini pun mencuat dan terdengar banyak orang, ada sejumlah
saran dan peringatan-peringatan kecil yang dilontarkan sebagian orang yang ikut
berempati maupun yang kontra terhadap cerita yang dialami Vallen, bahkan tak
banyak pula yang mengatakan bahwa semua itu hanyalah omong kosong.
Hal ini membuat
Vallen frustasi, pemikirannya buntu, berbagai cara telah ia lakukan, dari mulai
menjalani hal-hal spiritual kecil sampai yang dianggap paling tidak masuk akal
sekalipun. Namun ada satu cara yang menarik minat Vallen, cara yang
diketahuinya setelah mencari referensi dari berbagai media yaitu dengan cara
tidur tengah malam melintang di depan pintu rumah dengan bantal sapu gersang.
Aneh juga hal tersebut, Vallen yang secara fisik agak tomboy memiliki naluriah
yang sama dengan perempuan lainnya, berani mengambil risiko atas
keputusasaannya.
Bersambung.......
Comments
Post a Comment